Gereja Paroki Santo Yohanes Pemandi Lengko Elar (Foto: Yovan) |
Sejarah berdirinya Paroki Lengko Elar dimulai pada
permulaan tahun (seribu sembilan ratus) duapuluhan, abad ke-20. Pada
tahun-tahun itu, karya misioner Gereja Katolik untuk wilayah Manggarai Timur
dimulai. [1]
Pada awalnya, seluruh karya misi di wilayah Manggarai Timur ditangani langsung
dari Ruteng. Namun beberapa waktu sesudahnya, pusat karya misi di wilayah
Manggarai Timur mulai dialihkan ke Lengko Ajang dengan tokoh utama Pater
Wilhelmus Yanssen SVD. [2]
Pater Yanssen mengalami banyak tantangan berat ketika
menjalankan misi di Flores Barat, khususnya di wilayah Manggarai Timur.
Tantangan itu antara lain mengenai luas wilayah dan infrastruktur yang belum
mulai dibangun.
Kedua, mengenai kehidupan masyarakat yang sangat tradisional
dan belum mengenal agama, kecuali Islam.[3] Boleh
ditulis, karya misioner Pater Yanssen dimulai dari titik nol. Otto Vollert dkk.
mencatat:
Dengan susah payah ia sendirian menghadapi suatu
pekerjaan raksasa dalam wilayah yang sangat luas yang penduduknya hampir
seratus persen berkeyakinan animisme/kafir.
Hanya beberapa dusun yang menganut
Islam, yang merupakan kelompok kecil, serta dianggap sebagai golongan
bangsawan. Sebelum Belanda masuk, mereka berhubungan dengan Kesultanan Islam di
Bima.[4]
Salah satu strategi yang dikembangkan
Pater Yanssen untuk mengembangkan misi Katolik di Lengko Elar ialah dengan
membuka sekolah dan mengutus guru berlatar Katolik. Langkah awal dari strategi
ini adalah dengan mendirikan Sekolah
Dasar Katolik Lengko Elar pada 17 September 1923.
Tokoh yang menjadi guru
sekaligus pendiri sekolah ini adalah Wilhelmus Pareira Mitang, seorang yang
dipilih dan ditentukan oleh Misi Flores di Maumere untuk Kerajaan Manggarai.
Sekolah tersebut didirikan di Wae Wetok, Tungal, Dusun Lengko Welu, wilayah pemerintahan
Kedaluan Biting.[5]
Siswa sekolah angkatan pertama ini berjumlah 65 orang.
Murid-murid yang semuanya laki-laki tersebut merupakan utusan dari 33 kampung
di Kedaluan Biting; 12 kampung lainnya tidak mengirim utusan. Otto Vollert dkk.
mendata murid-murid tersebut sebagai berikut: [6]
Tabel 01 : Data
Murid Angkatan Pertama SDK Lengko Elar
|
||
No. Urut
|
Asal Kampung
|
Jumlah Murid
|
1
|
Lengko Welu
|
4
|
2
|
Lero
|
2
|
3
|
Nancur
|
2
|
4
|
Mari
|
2
|
5
|
Bebong
|
2
|
6
|
Naron
|
3
|
7
|
Waru
|
2
|
8
|
Wae Kool
|
2
|
9
|
Nu
|
1
|
10
|
Sisir
|
2
|
11
|
Lawan
|
1
|
12
|
Wanger
|
2
|
13
|
Tirus Tewa
|
2
|
14
|
Mimor
|
2
|
15
|
Wuntun
|
2
|
16
|
Tirus
|
2
|
17
|
Kaong
|
2
|
18
|
Pinggang
|
2
|
19
|
Nonggol
|
2
|
20
|
Rese
|
1
|
21
|
Waning
|
2
|
22
|
Belang
|
2
|
23
|
Rangke
|
1
|
24
|
Lobor
|
2
|
25
|
Weong
|
2
|
26
|
Lidi
|
3
|
27
|
Ladar
|
2
|
28
|
Soda
|
2
|
29
|
Rewos
|
2
|
30
|
Golo
|
2
|
31
|
Teo
|
2
|
32
|
Pata
|
2
|
33
|
Mulu
|
1
|
TOTAL
|
65
orang
|
|
Sumber: Kenangan 50 Thn. Paroki
Lengko Elar.
|
Selain melaksanakan kegiatan dalam lingkungan sekolah,
Guru Wilhelmus juga melaksanakan kegiatan di luar sekolah. Ia mengumpulkan
masyarakat di kampung-kampung dan memberikan pengajaran agama Katolik kepada
mereka.
Pada tahun 1924, contohnya, Guru Wilhelmus sudah bersahabat dengan
masyarakat di Ladar dan Kaong yang semuanya belum mengenal ajaran Katolik. Di
kedua kampung ini, Guru Wilhelmus mendaftarkan 80 warga yang menyatakan
kesiapan untuk menerima ajaran Katolik.
Menara Lonceng (Foto: Yovan) |
Pada perkembangannya, kegiatan pengajaran agama Katolik
yang dijalankan Guru Wilhelmus tidak hanya terjadi di Ladar dan Kaong, tetapi
meluas ke seluruh wilayah termasuk Sisir dan Mombok.
Demi memperlancar kegiatan
ini, Guru Wilhelmus melibatkan murid-murid yang sudah didampinginya di SDK
Lengko Elar.
Otto Vollert dkk. mencatat: “Tiap hari Minggu murid-murid
diwajibkan untuk mengajar sembahyang kepada orang-orang tua di kampung yang
masih kafir, baik di tempat asalnya maupun di kampung lain”.[7]
Enam tahun sesudah sekolah pertama didirikan, yakni pada
1 Agustus 1929, ditambah lagi satu sekolah di Mombok. Sekolah tersebut
diperuntukkan bagi para siswa yang menetap di bagian barat Kali Wae Laban.
Otto
Vollert dkk. mencatat: “Sekolah lain yang ada ialah untuk bagian Rembong, Leda
Liur; untuk bagian Biting Selatan, Naon-Kajan/Naju; untuk bagian Rajong,
Sesur”.[8]
Bersamaan dengan penambahan jumlah sekolah ini terjadi penambahan jumlah siswa,
yang berujung pada penambahan jumlah guru.
Otto Vollert dkk. mencatat bahwa selain mendatangkan
guru-guru dari Maumere, ada juga guru yang didatangkan dari Pulau Timor dan
Larantuka-Flores Timur. Hal yang lebih menggembirakan adalah beberapa putra
asli Manggarai sudah meraih jabatan guru dan turut berkarya di Lengko Elar.
Daftar guru-guru tersebut sebagai berikut:[9]
Tabel 02 : Daftar Guru yang Berkarya
di Lengko Elar pada 1929
|
||
No.
|
Pengelompokkan Guru Berdasarkan Asal
|
|
Maumere-Timor-Larantuka
|
Manggarai
|
|
1
|
Wilhelmus Pareira Mitang
|
Simon Madi
|
2
|
Yosef Koda Parera
|
Darius Tukeng
|
3
|
Dominikus Fernandes (Bombo)
|
Raimundus Sanda
|
4
|
Willem Wisang
|
Ignasius Pota
|
5
|
Sirilus Jilu
|
Petrus Mekas
|
6
|
Hendrikus Kasa
|
Bernadus Ngalong
|
7
|
Antonius Mayor da Gomez
|
Mateus Jangkong
|
8
|
Aloisius Lawiju de Rosari
|
|
9
|
Fransiskus Siku Riberu
|
|
10
|
Yohanes Nokin
|
|
Sumber: Kenangan 50 Thn. Paroki
Lengko Elar.
|
Mengenai peran para guru ini, Otto Vollert dkk. mencatat:
“Mereka bukanlah orang-orang kudus yang hanya mengingat surga. Mereka juga
bukanlah orang-orang yang berambisi untuk mendapatkan pangkat dan (jabatan)
dunia. Mereka hanyalah orang sederhana namun berjasa mengembangkan iman umat
Lengko Elar”.[10]
Berkat usaha keras Pater Yanssen dan para guru, pada 5
Mei 1926 sekelompok orang Biting untuk pertama kalinya dibaptis menjadi
Katolik. Jumlah mereka 21 orang, dan semuanya laki-laki.[11]
Dari 21
orang tersebut 14 orang berasal dari Elar (Gelarang Wuntun dan Kaong),
sedangkan 7 lainnya berasal dari Mombok (Gelarang Sisir).[12] Otto
Vollert dkk. membuat catatan tentang peristiwa ini:
Bapak Linus Rangga, berasal dari Kampung Wuntun, tercatat
sebagai “nomor satu” dalam Buku Permandian Elar, dan Romanus Tokor, berasal
dari Kampung Mbeleng, tercatat sebagai “nomor satu” dalam Buku Permandian
Mombok. [....]
Orang tertua yang dipermandikan adalah Bapak Raimundus Reban
dari Lengko Welu. Ia lahir pada 1865 dan tercatat dalam Buku Permandian Elar
dengan “nomor enam belas”.[13]
Beberapa tahun sesudahnya, Pater Yanssen kembali mengadakan
dua baptisan massal. Baptisan massal yang pertama terjadi pada 22 Februari 1932
di Elar. Sebanyak 167 orang dibaptis pada saat itu, 76 laki-laki dan 91
perempuan.
Umur mereka yang dibaptis pada tanggal tersebut tidak lebih dari 18
tahun. Otto Vollert dkk. mendata asal kampung mereka sebagai berikut:[14]
Tabel 03 : Daftar Peserta Baptisan Massal pada 22 Februari
1932
|
||
No.
|
Asal Kampung
|
Jumlah yang Dibaptis
|
1
|
Ladar
|
19
|
2
|
Kaong
|
31
|
3
|
Nilu
|
6
|
4
|
Metik
|
6
|
5
|
Waru
|
11
|
6
|
Lenang
|
13
|
7
|
Weong
|
20
|
8
|
Wuntun
|
9
|
9
|
Lidi
|
19
|
10
|
Naron
|
9
|
11
|
Wanger
|
10
|
12
|
Lero
|
5
|
13
|
Lengko Welu
|
2
|
14
|
Ledu
|
20
|
TOTAL
|
167 Orang
|
Dua minggu kemudian, yakni pada 6 Maret 1932, Pater
Yanssen mengadakan permandian massal yang kedua. Kali ini, permandian terjadi
di Mombok, diikuti 114 peserta, 47 laki-laki dan 67 perempuan.[15]
Otto Vollert dkk. membuat perincian sebagai
berikut:
Tabel 04 :
Daftar Peserta Baptisan Massal pada 6 Maret 1932
|
||
No.
|
Asal Kampung
|
Jumlah yang Dibaptis
|
1
|
Belang
|
13
|
2
|
Teo
|
20
|
3
|
Ninu
|
8
|
4
|
Peleng
|
14
|
5
|
Waning
|
2
|
6
|
Lawan
|
6
|
7
|
Kempo
|
20
|
8
|
Nganta
|
4
|
9
|
Sisir
|
9
|
10
|
Golo
|
5
|
11
|
Rani
|
9
|
12
|
Nu
|
4
|
TOTAL
|
114
Orang
|
Selain pembaptisan-pembaptisan yang dikisahkan di atas,
masih banyak pembaptisan lain yang diadakan pada masa-masa awal misi Gereja
ini. Pembaptisan tersebut tidak saja dilaksanakan oleh Pater Yanssen, melainkan
juga oleh beberapa tokoh awam.
Otto Vollert dkk. memberi penjelasan tentang hal
ini: “Dalam memberi Sakramen Pembaptisan, banyak awam yang terlibat, antara
lain Bapak Lawiju de Rosari, Bapak Yohanes Rangga, Bapak Markus Setoe, dan
masih banyak lagi yang lain. Mereka rajin sekali membaptis orang, terutama yang
mendekati ajalnya”.[16]
Rumah Pastoran Lama yang didirikan Pater Otto Vollert, SVD (Foto: Yovan) |
Pembaptisan-pembaptisan ini selanjutnya mengarah kepada
bertambahnya jumlah umat, yang tentunya juga membutuhkan pelayanan maksimal
seorang pastor.
Namun, pada saat bersamaan, penambahan sejumlah besar umat juga
terjadi di wilayah Lengko Ajang dan sekitarnya.
Kenyataan ini mendesak Pater
Yanssen untuk lebih memprioritaskan pelayanan terhadap umat di sana. Dengan
demikian, pelayanan yang diberikan terhadap umat Lengko Elar dianggap kurang
memadai lagi.
Kendala ini perlahan teratasi ketika pada 1936 tiga
misionaris berkebangsaan Belanda masuk medan misi Manggarai. Ketiga misionaris
baru tersebut adalah Pater Jilis A. J. Verheijen SVD, Pater Frans Mensen SVD
dan Pater Yohanes Swinkels SVD.
Dalam penentuan tugas, Pater Verheijen menekuni
bidang budaya dan bahasa Manggarai, Pater Frans Mensen menjadi Pastor Paroki
Ranggu – Manggarai Barat, dan Pater Swinkels mendapat kepercayaan untuk
melayani umat di wilayah Manggarai Timur.[17]
Pada 25 Maret 1936, Pater Swinkels berangkat dari Ruteng
menuju Lengko Ajang. Selanjutnya pada 5 Mei 1936, Pater Swinkels untuk pertama
kalinya mengunjungi Lengko Elar.
Namun kunjungannya pada waktu itu menurut
catatan Otto Vollert dkk. “hanya singgah saja”,[18] dan
belum bersifat menetap. Penunjukkan Pater Swinkels untuk menangani wilayah
Lengko Elar baru terjadi pada perayaan Pentakosta tahun 1936.
Penunjukkan
tersebut dilakukan Deken Pater Thomas Koning SVD, saat semua misionaris
Manggarai berkumpul di Ruteng.[19]
Sekitar Paskah tahun 1937, Pater Yohanes Swinkels mulai
membangun sebuah pondok kecil dan sederhana di Lengko Elar. Rangka-rangka dari
bambu dan atapnya dari alang-alang. Letaknya persis di mana pastoran sekarang
berada.
Menurut Otto Vollert dkk., “Inilah tanda permulaan Elar menjadi sebuah
paroki baru. [....] Dari tempat sederhana tersebut, Pater Swinkels melakukan
tugas pelayanan terhadap umat di tiga wilayah kedaluan yakni Biting, Rembong
dan Rajong”.[20]
Rumah Pastoran Baru, didirikan pada masa Pater Lazarus Tamonob, SVD (Foto: Yovan) |
Menurut penuturan Pastor Kepala Paroki Lengko Elar saat
ini, Pater Laurensius Kuil SVD, pihaknya belum menemukan sebuah dokumen resmi
terkait tanggal berdirinya Paroki Lengko Elar.
Para pastor yang mendahuluinya
mewarisi sebuah sejarah lisan bahwa Paroki Lengko Elar didirikan pada 1937.[21]
Pendapat yang sama juga disampaikan secara terpisah oleh sesepuh umat Paroki
Lengko Elar Bpk. Antonius Laba. Menurut dia, umat Lengko Elar menerima tahun
1937 sebagai tahun berdirinya paroki. Atas dasar itu, pada Oktober 2017, umat
merayakan secara meriah syukuran 80 tahun usia Paroki Lengko Elar.[22]
Apa yang dituturkan Pater Laurensius dan Bpk. Antonius
Laba ini sebenarnya menegaskan apa yang pernah ditulis Otto Vollert dkk.: “Satu
dokumen resmi yang mencantumkan tanggal tepat berdirinya paroki ini tidak dapat
diketemukan.
Hal ini tentu dapat dimengerti bila kita mengingat cara kerja para
misionaris dahulu dalam masa pionernya. Mereka lebih mengutamakan aspek
pengalaman iman daripada membuat dokumen resmi”.[23]
(*) Tulisan berupa sejarah ini disusun P. Agustinus Gyovani Rante, SVD. Pertama kali dipublikasikan dalam Tesisnya yang berjudul "Meninjau Fenomena Kawing Kampong di Paroki Santo Yohanes Pemandi Lengko Elar Berdasarkan Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia dan Relevansinya bagi Karya Pastoral Perkawinan" (Ledalero-2018).
(*) Tulisan berupa sejarah ini disusun P. Agustinus Gyovani Rante, SVD. Pertama kali dipublikasikan dalam Tesisnya yang berjudul "Meninjau Fenomena Kawing Kampong di Paroki Santo Yohanes Pemandi Lengko Elar Berdasarkan Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia dan Relevansinya bagi Karya Pastoral Perkawinan" (Ledalero-2018).
[2]
Pater Wilhelmus Yanssen adalah seorang imam misionaris SVD berkebangsaan
Belanda. Ia masuk ke wilayah Manggarai pada 1920 dan merupakan tokoh misionaris
kedua yang berkarya di wilayah Flores Barat, sesudah Pater Glanemann SVD.
Sebagian besar karya misinya dipusatkan di wilayah Paroki Lengko Ajang,
Manggarai Timur. Ia menetap di Lengko Ajang hingga meninggal pada 10 Oktober
1960 dan dimakamkan di sana. Ibid., pp.
1 dan 29.
Perlu diapresiasi upaya Eram Lengko Elar sebagai sebuah catatan lepas serpihan sejarah Paroki Santo Yohanes Pemandi Lengko Elar. Namun cukup disayangkan, karena sumber dokumen dari Paroki Lengko Ajang dan dari dokumen Keuskupan Ruteng tidak ada. Para pelaku dan saksi sejarah pada masa awal Paroki Elar juga tidak muncul sebagai nara sumber. Ke depan, Paroki Elar perlu membuat dan menyusun sejarah paroki yang lebih rinci, dengan sumber y ang lebih valid dan komprehensif. Terima kasih.
BalasHapusJika perngambilan data dan informasi sebagai sumber tulisan ini pada tahun 2017, sebetulnya masih banyak tokoh umat yang memang lahir pada tahun 1930an dan 1940an dan besar di Lengko Elar, yang bisa diwawancarai sebagai Narasumber yang lebih kredjble.
HapusPernyataan bahwa para misionaris awal kurang memperhatikan dokumentasi dan administrasi, sepertinya sangat keliru. Justru para misionaris awal sangat ketat dengan rekaman data dan historis. Bisa dicheck data dan histori yang ada di dokumentasi keuskupan-keuskuoan, dokumentasi biara-biara perintis seperti SVD, dll. Pernyataan ini mungkin hanya sebagai alasan penulis yang kurang memiliki sumber data dan informasi tentang fakta sejarah.
Hapus