Langsung ke konten utama

Tinjau Ulang Praktik Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak di Indonesia Berdasarkan Prinsip Etika Gereja Katolik

Ilustrasi Hukuman Kebiri
(Sumber: Nusantaranews.co)


1. PENGANTAR
Pada Mei 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[1] Perppu yang bertujuan mengatasi maraknya kejahatan seksual terhadap anak ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada Oktober 2016.[2] Satu bagian penting yang sekaligus mendapat reaksi pro dan kontra berbagai kalangan terkait undang-undang ini adalah penetapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Bagi kelompok yang mendukung, hukuman kebiri kimia dinilai setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan para penjahat seksual tersebut. Kebiri kimia disinyalir bisa mendatangkan efek jera bagi mereka. Sedangkan bagi kelompok penentang, hukuman kebiri kimia dinilai kurang manusiawi serta tidak menghargai harkat dan martabat pribadi manusia.[3] Meski belum menemukan kata sepakat, praktik hukuman kebiri kimia di Indonesia toh telah berjalan selama setahun terakhir. Lantas bagaimanakah prinsip etika Gereja Katolik memandang praktik ini? Saya akan mengulasnya dalam tinjau ulang berikut ini.

2.   KONTEKS PERSOALAN
Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Desember 2015 merilis laporan tentang meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak. Menurut laporan tersebut, dari 1.726 kasus kejahatan seksual yang terjadi, sekitar 58 persennya dialami anak-anak. Artinya, ada sekitar 1.000 kasus kejahatan seksual seperti sodomi, pemerkosaan dan incest dilakukan terhadap anak-anak. KPAI juga menyertakan dua data pembanding berikut. Pada 2014, dari 3.339 kasus kejahatan umum terhadap anak, kasus kejahatan seksual mencapai 52 persen. Sementara pada 2013, dari 2.700 kasus kriminal yang melibatkan anak, 42 persen merupakan kasus kejahatan seksual.[4]

Peningkatan kasus kejahatan seksual terhadap anak ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak di Indonesia. Ada kelompok masyarakat yang secara latah mengungkapkan Indonesia memasuki “masa darurat kejahatan seksual”.[5] Mereka mendesak pemerintah supaya secepatnya mengeluarkan aturan tegas terkait kejahatan seksual dimaksud. Ketua KPAI  Arist Merdeka Sirait, misalnya, sejak 2011 meminta pemerintah untuk merevisi UU Perlindungan Anak yang dinilainya masih terlalu lemah. Menurut dia, “hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun harus diubah menjadi penjara minimal 20 tahun dan maksimal hukuman kebiri”.[6]

Presiden Joko Widodo memberikan respons positif terhadap desakan tersebut. Ia melihat kejahatan seksual pada anak termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Ia pun menilai perlunya penambahan hukuman untuk menimbulkan efek jera. Karena itu, ia mengeluarkan Perppu yang salah satunya mengatur tentang kebiri kimia. Dalam Perppu tersebut diatur ketentuan pemberatan pidana, yakni penambahan masa hukum sepertiga dari ancaman pidana, dipidana mati, pidana seumur hidup, serta pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidana tambahannya adalah pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.[7]

Meski masih diwarnai sikap pro dan kontra, DPR RI tetap meloloskan Perppu yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Seluruh anggota DPR yang menghadiri Rapat Paripurna menyatakan setuju ketika Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menanyakan apakah rancangan undang-undang tersebut disetujui menjadi undang-undang.[8] Satu hal yang menjadi catatan DPR hanyalah agar ada komitmen dari tiap fraksi untuk merevisi undang-undang itu agar lebih komprehensif dan dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian, cita-cita bersama untuk memberantas perilaku kejahatan seksual terhadap anak-anak bisa teratasi dengan baik.

3.   SELAYANG PANDANG HUKUMAN KEBIRI
3.1    Arti dan Model Hukuman Kebiri
Kebiri (medis: kastrasi) merupakan sebuah tindakan yang bertujuan membuang atau menghilangkan fungsi testis pada pria atau ovarium pada wanita.[9] Dalam dunia hukum, kebiri digolongkan sebagai model sanksi bagi pria pelaku kejahatan seksual dengan menurunkan kadar testosteron yang terkandung di dalam tubuhnya.[10] Kadar testosteron inilah yang dianggap berperan penting dalam memainkan fungsi seksual seorang pria. Harapannya adalah ketika kadar testosteron dalam tubuhnya menurun, libido dan fungsi ereksinya pun ikut turun.

Menurut Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila, ada dua model kebiri yakni kebiri fisik dan kebiri kimia.[11] Kebiri fisik dilakukan dengan cara mengamputasi organ seks eksternal pria pelaku kejahatan seksual, sehingga membuat pelaku kekurangan hormon testosteron. Kurangnya hormon ini akan banyak mengurangi dorongan seksualnya. Sementara itu, kebiri kimia dilakukan dengan cara memasukan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang supaya produksi hormon testosteron di dalam tubuhnya berkurang. Hasil akhir kebiri kimia sama dengan kebiri fisik.

Pada era modern ini, kebiri fisik tidak banyak dipraktikkan lagi. Pihak hukum cenderung menggunakan kebiri kimia. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan hormon anti-androgen. Satu hal yang perlu diketahui, kebiri kimia tidak bersifat permanen. Artinya, jika pemberian zat anti-androgen dihentikan, efeknya juga akan berhenti dan penerima mendapatkan lagi fungsi seksualnya, baik berupa hasrat seksual maupun kemampuan ereksi. Untuk konteks Indonesia, kebiri kimia berlaku selama dua (2) tahun terhitung sejak seorang pelaku kejahatan seksual keluar dari lembaga pemasyarakatan.[12]

3.2   Sejarah Hukuman Kebiri
Kebiri pada tubuh manusia bukanlah suatu hal yang baru. Praktik ini sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu di sejumlah negara di dunia. Pada masa kekaisaran Cina dan Korea, kebiri (khususnya kebiri fisik) dilakukan terhadap para hamba laki-laki yang bertugas mengawal istri atau anak-anak kaisar. Dengan demikian, mereka melindungi istri dan anak-anak dari pelanggaran seksual yang bisa saja dilakukan para hamba tersebut. Meskipun marak di kekaisaran Cina dan Korea, praktik kebiri ditentang keras di wilayah kekaisaran Romawi. Masyarakat Romawi meyakini, pengangkatan testis menjadi hal yang bertentangan dengan hukum Ilahi.[13]

Pada perkembangan selanjutnya, praktik kebiri lebih identik dengan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual. Negara-negara yang menerapkan hukuman ini adalah Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Rusia dan Turki.[14] Beberapa negara lain yang juga memberlakukan hukuman kebiri dapat dilihat pada Tabel 01 berikut:[15]

Tabel 01. Daftar Negara Penganut Hukuman Kebiri
No.
Nama Negara
Tahun Penetapan
Model Kebiri
1
Swedia
1944
Fisik
2
Republik Ceko
1966
Fisik
3
Jerman
1969
Fisik
4
Denmark
1969
Fisik
5
Finlandia
1970
Fisik
6
Norwegia
1977
Fisik
7
Amerika Serikat
1997
Kimia
8
Polandia
2010
Kimia
9
Korea Selatan
2013
Kimia
10
Indonesia
2016
Kimia
Sumber: Infografis tirto.id

Kebiri yang dilakukan melalui metode kimia untuk pertama kali diperkenalkan dokter asal Amerika bernama John Money. Ia menyuntikkan zat kimia anti-androgen (medroxyprogesterone acetate atau cyproterone) ke dalam tubuh sasaran. Kebiri yang diperkenalkan Money ini tanpa tindakan bedah sama sekali. Money memberlakukan kebiri kimia ini untuk mengontrol orang-orang yang memiliki fantasi lebih terhadap seksualitas, khususnya seksualitas kepada anak-anak (pedofilia).

Selama 20 tahun terakhir, pengebirian kimia menjadi hal wajib yang diberlakukan Amerika Serikat untuk menghukum para pedofilia. Pemberlakukan hukuman ini pun mengundang kontroversial akibat dua alasan. Pertama, tindakan ini dinilai kejam dan tidak manusiawi. Kedua, tindakan pengebirian tidak selalu bekerja dengan baik dan belum tentu mendatangkan efek jera. Meski sejarah hukuman kebiri senantiasa diwarnai pro dan kontra, Indonesia tetap mengadopsi model hukuman ini untuk diterapkan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.  

3.3   Dampak Medis dan Psikologis Kebiri[16]
Kebiri, khususnya kebiri kimia, pertama-tama berdampak pada menurunnya kadar testosteron dalam tubuh seorang pria. Apabila kadar testosteron menurun, gairah seksualnya pun berkurang; libido melemah. Masih sehubungan dengan penurunan testosteron, dampak medis lain yang ditimbulkannya adalah mengecilnya ukuran testis, melemahnya daya ereksi dan berkurangnya jumlah sperma.

Selain itu, kebiri kimia juga mendatangkan ragam dampak medis lain yakni tubuh  menjadi  loyo dan kurang bertenaga. Massa tulang menurun dan terancam keropos. Penuaan dini, massa dan kekuatan otot menurun. Penerima jadi mudah mengantuk. Lebih rentan terkena penyakit metabolik seperti hipertensi, kencing manis tipe 2. Juga bisa muncul gangguan lemak berisiko penyakit pembuluh darah seperti stroke dan penyakit jantung koroner.

Secara psikologis, kebiri bisa saja menyebabkan goncangan emosi dan kejiwaan si penerima. Penolakan terhadap kebiri bisa menyebabkan ia marah, dan kemarahan itu akan ia salurkan kepada sesama atau benda lain. Kebiri juga bisa menyebabkan seseorang kehilangan rasa percaya diri dan menjadi minder untuk bersosialisasi di tengah masyarakat. Singkat kata, kebiri kimia bisa menimbulkan perasaan terluka yang amat dalam, dan jika tidak didampingi secara baik akan lebih memperburuk keadaan si penerima.

3.4 Penerimaan dan Penolakan Hukuman Kebiri di Indonesia
Penetapan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual melahirkan dua kubu yang saling bertentangan yakni kubu yang menerima dan kubu yang menolak. Kubu-kubu ini ada yang berjuang atas nama pribadi, ada juga yang menyuarakan pendapatnya secara bersama; mewakili sikap sebuah komunitas tertentu. Saya memilih dua komunitas besar dan berpengaruh terhadap pelaksanaan hukuman kebiri yakni Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai kubu yang menerima dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kubu yang menolak.

KPAI beranggapan, kebiri merupakan model hukuman paling efektif yang layak dikenakan bagi pelaku kejahatan seksual tehadap anak. Alasan mereka adalah, pertama, kejahatan seksual terhadap anak sudah terlalu banyak, perlu aturan yang tegas dan berat. Kedua, sanksi yang tegas dan berat diyakini akan mendatangkan efek jera bagi pelaku dan juga menimbulkan keengganan berbuat jahat bagi orang yang punya potensi berbuat jahat. Ketiga, hukuman kebiri kimia masih tergolong manusiawi karena bersifat sementara dan dilakukan melalui suntikan (bukan pembelahan fisik). [17]

Sementara itu, Ketua Umum IDI Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis mengatakan pihaknya menyatakan penolakan terhadap hukuman kebiri dan sekaligus menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia. Alasan mereka adalah, pertama, tugas pelayan kesehatan adalah menyembuhkan orang sakit, bukan membuat orang sehat menjadi sakit. Kedua, dalam hal kekerasan seksual, yang bermasalah bukan organ seksualnya tetapi pada pikiran dan ketidakmampuan subjek untuk mengendalikan diri berhadapan dengan rangsangan seksual. Karena itu, hal yang perlu diperbaiki adalah pola pikir dan sistem pertahanan diri, bukan struktur fisiknya. Ketiga, hukuman kebiri merupakan tindakan penuh risiko dan kurang manusiawi, namun daya transformatif dari  tindakan tersebut sangat kecil. Adalah sebuah tindakan ceroboh jika hukum Indonesia melanggar nilai-nilai manusiawi hanya untuk mengejar tujuan yang nyatanya belum pasti.[18]   

4.  TINJAU ULANG HUKUMAN KEBIRI KIMIA BERDASARKAN PRINSIP ETIKA GEREJA KATOLIK
Berdasarkan sejumlah literatur yang saya baca, Gereja Katolik menolak tegas pelaksanaan hukuman kebiri, baik kebiri kimia maupun (dan terutama) kebiri fisik. Penolakan tersebut lahir sekurang-kurangnya karena berbenturan dengan empat prinsip etika Gereja Katolik berikut ini.

4.1 Manusia, Ciptaan Allah yang Paling Tinggi
Menurut teks Kejadian 1: 27, manusia adalah puncak ciptaan Allah, yang diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Teks tersebut selengkapnya berbunyi, “maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”

Mengacu pada teks ini, Ensiklik Gaudium et Spes mencatat bahwa manusia merupakaan ciptaan Allah dengan kualitas diri paling tinggi. Artinya, dari sekian banyak ciptaan Allah lainnya, tidak ada yang lebih tinggi dari manusia.[19] Pengartian ini kiranya sama persis dengan apa yang dirumuskan oleh Plotinos, filsuf Yunani pendiri mazhab Neo-Platonisme. Menurut dia “setiap tubuh (manusia) menyimpan percik-percik cahaya Ilahi, yang membuatnya lebih istimewa dari tubuh ciptaan lain”.[20] Pernyataan Plotinos ini kemudian diafirmasi oleh St. Thomas Aquinas dengan menegaskan bahwa manusia adalah essere perfectissimum in tota natura, ciptaan yang sempurna dari semua ciptaan.[21]

Atas dasar tersebut di atas, manusia tidak boleh “dikalahkan” oleh siapa (atau apa) saja, kecuali oleh Allah sendiri sebagai pencipta. Manusia memiliki harkat dan martabat diri yang mulia, yang tidak dapat direnggut begitu saja dari dirinya. Tidak pernah dikatakan dalam Kitab Suci agama apapun bahwa  manusia itu lebih rendah dari ciptaan lainnya, apalagi lebih rendah dari suatu aspek dalam diri manusia itu sendiri. Itu berarti, manusia harus menjadi tujuan dalam dirinya sendiri dan tidak boleh hanya dipandang sebagai sarana instrumentalisasi semata.

Berdasarkan pola pikir ini, Gereja memandang bahwa hukuman kebiri sama sekali tidak dapat dibenarkan. Pater Peter C. Aman OFM, Dosen Teologi Moral di STF Driyarkara-Jakarta menegaskan “alih-alih ingin menegakkan keadilan, hukuman ini malah merupakan penghinaan terhadap martabat kemanusiaan”.[22] Betapapun kejamnya si pelaku kejahatan seksual terhadap anak, harga diri dan martabat kemanusiaannya mesti tetap dihargai. Sebab martabat dan harga diri tersebut tidak ditentukan oleh tindak-tanduknya, melainkan sesuatu yang diberikan sendiri oleh Allah pencipta.

Lebih lanjut, Romo Anton Moa Tolipung Pr, Dosen Teologi Moral STFT St. Yohanes Pematangsiantar menyejajarkan hukuman kebiri dengan hukuman mati. Letak kesejajarannya menurut dia adalah sama-sama menghancurkan martabat manusia. Padahal harus diingat bahwa prinsip hukuman bertujuan membela kemanusiaan, membela martabat manusia.[23] Ironisnya, dalam hukuman kebiri yang dilanggar justru martabat kemanusiaan itu sendiri. Memotong atau melumpuhkan salah satu bagian tubuh, apalagi dalam konteks hukuman, merupakan satu bentuk perendahan terhadap martabat diri seorang manusia.

4.2 Ciptaan Allah Itu “Sungguh Amat Baik”
Kejadian 1:31 menulis, “maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”. Pernyataan “sungguh amat baik” di sini dapat dimaknai bahwa apa yang diciptakan Allah merupakan mahakarya yang sempurna, tanpa kekurangan.[24] Konsekuensinya ialah bahwa apa yang sudah baik, sudah sempurna, tidak boleh dirusak oleh manusia, karena ini berarti merusak karya Allah.[25]

Melakukan pengebirian kimia, apalagi kebiri fisik, merupakan tindakan merusak karya Allah, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lain halnya dengan kasus amputasi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dalam hal ini, ada konflik antara hidup manusia dengan integritas tubuh manusia.[26] Hidup harus lebih diutamakan bila dibandingkan dengan organ manusia. Dalam kasus kebiri, tidak ada konflik antara hidup dengan organ tubuh. Pokok permasalahan bagi pelaku pemerkosaan bukan terletak di dalam tubuhnya tetapi pada ketidakmampuannya untuk mengendalikan diri berhadapan dengan rangsangan seksual.

Terkait hal ini, Romo CB. Kusmaryanto SCJ, Dosen Teologi Moral pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma menegaskan hukuman kebiri yang merusak integritas manusia yang sudah diciptakan Allah dalam keadaan baik, tidak bisa dibenarkan. Itulah sebabnya St. Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae, II-II, q 65 mengatakan, “anggota tubuh manusia bisa dibuang apabila dengan tindakan itu bisa menguntungkan seluruh tubuh [...]. Akan tetapi kalau anggota tubuh itu sehat maka tidak boleh dibuang karena akan mengakibatkan kerusakan atau kerugian bagi seluruh tubuh.”[27]

4.3 Kewajiban dan Hak untuk Menjaga Hidup dan Kesehatan
Kehidupan jasmani dan kesehatan merupakan hal-hal dasariah yang dipercayakan Allah kepada manusia. Karena itu, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara kesehatannya. Lazimnya dorongan manusiawi untuk memelihara diri sudah menjamin bahwa orang melaksanakan kewajiban ini.[28] Sehubungan dengan ini, Rasul Paulus secara gamblang mengatakan: “sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya” (Efesus 5:29).

Paus Pius XII dalam sebuah pertemuan dengan para dokter pada 24 November 1957 mengatakan, “alasan-alasan natural dan moral Kristiani mengatakan bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara hidup dan kesehatannya dengan mempergunakan sarana yang perlu bila dia diserang penyakit.” Mempertahankan hidup dan kesehatan itu adalah hak sekaligus kewajiban yang berdasar pada dua alasan yakni alasan natural dan alasan moral Kristiani.

Secara natural, semua makhluk hidup sudah dibekali kemampuan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan. Baik secara internal maupun secara eksternal, manusia sudah diberi kemampuan untuk menjaga integritas diri, menjaga kesehatan dan menjaga hidup. Secara moral Kristiani, hidup manusia adalah anugerah yang harus diterima dengan syukur, dipelihara dan dikembangkan. Manusia tidak berhak untuk merusak apalagi memusnahkan kehidupan. Sebaliknya, tugas manusia adalah memelihara dan memperkembangkannya sehinga menghasilkan buah berlimpah.

Dari sudut pandang ini menjadi jelaslah bahwa kebiri kimia adalah upaya untuk menjadikan tubuh manusia tidak sehat, tidak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya. Apalagi ada indikasi kuat bahwa kebiri itu menimbulkan efek samping yang tidak sedikit, yang berbahaya bagi kesehatan dan kinerja tubuh. Karena itu, Gereja menolak pemberlakuan hukuman kebiri kimia.

4.4 Menjaga Hidup dan Integritas dalam Pelayanan Kesehatan[29]
Pada tahun 1995, Pontifical Council for Pastoral Assistance mengeluarkan dokumen penting sehubungan dengan pelayanan kesehatan, yakni Charter for Healthcare Workers. Pada artikel nomor 33 dikatakan, “Medical service to life accompanies the life of the person throughout their whole life-span. It is protection, promotion and care of health, that is, of the integrity and psycho-physical well-being of the person, in whom life is enfleshed.”

Demikian pula Konferensi Uskup-Uskup Amerika Serikat mengatakan semua orang yang dilayani oleh Rumah Sakit Katolik mempunyai hak dan kewajiban untuk melindungi dan mempertahankan integritas tubuh dan  fungsi-fungsinya. Integritas fungsional seseorang bisa dikurbankan untuk memelihara kesehatan atau hidup orang itu jika tidak tersedia lagi cara atau alat lain yang sah secara moral.[30]

Dari dua dokumen ini dapat digarisbawahi bahwa seorang pelayan kesehatan harus melindungi dan mempromosikan kesehatan pasiennya dan bukan untuk merusak atau menjadikan pasiennya sakit. Lagi pula seorang pelayan kesehatan harus menjamin pasiennya bahwa dia tidak akan merusak integritas baik fisik maupun psikisnya. Melakukan kebiri kimia, apalagi kebiri fisik, mencederai integritas tubuh manusia.

Gereja memandang bahwa setiap manusia perlu menjaga integritas tubuhnya, sebab hanya dalam keutuhan itu ia bisa berfungsi normal dan maksimal. Kalau ada bagian tubuh yang dipotong atau sengaja dibuat tidak berfungsi, akan menjadikan manusia tersebut berkurang kemampuannya untuk mengaktualisasikan diri, mengekpresikan diri, bekerja dan sebagainya. Apalagi, tubuh manusia adalah bagian integral dari persona manusia dan turut ambil bagian dalam martabat manusia. Hanya ketika tubuhnya utuh dan integritasnya terjaga maka sebagai manusia dia bisa berfungsi sebagaimana mestinya.[31]

5.   TAWARAN SOLUSI
Tinjau ulang di atas sekurang-kurangnya mengantar kita pada sebuah kesimpulan bahwa Gereja Katolik menolak kebijakan pemerintah Indonesia melegalkan hukuman kebiri kimia bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Di sisi lain, pemerintah ingin menjaga anak-anak dari kejahatan seksual yang bisa saja dilakukan kaum dewasa. Untuk itu, sebagai salah seorang anggota Gereja, saya coba menawarkan beberapa pokok pikiran yang kiranya bisas menjembatani perbedaan pandangan ini.  

Pertama, memasukkan pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah. Kebanyakan peristiwa kejahatan dan kekerasan seksual terjadi karena orang belum sepenuhnya mengerti apa itu seks. Memasukkan pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah sangat penting dengan catatan bahwa pendidikan tersebut bukan sebatas perilaku biologis, tetapi terutama penanaman nilainya. Artinya, hal-hal seputar seksualitas, semisal kasih sayang, penghargaan, kesetaraan, dan keadilan dalam relasi seksual juga perlu dibentuk di sekolah.

Kedua, membuat pencegahan dini terhadap adanya aksi kekerasan seksual terhadap anak. Aksi pencegahan dini ini mengarah kepada dua subjek yakni pelaku dan korban (anak-anak). Perlu dicatat bahwa semua orang bisa menjadi pelaku, bisa juga menjadi korban. Karena itu, hal yang perlu diterapkan antara lain membatasi aktivitas yang mengarah kepada aktivitas seksual, misalnya pornografi. Kepada anak-anak, hal yang paling penting adalah mengenal tanda-tanda adanya pelecehan seksual atas dirinya. Jika terjadi hal-hal demikian dia bisa memberitahu kepada orangtua atau walinya.

Ketiga, memperkuat kehidupan rohani dan ketahanan diri. Biasanya kekerasan seksual terjadi ketika orang sedang berada dalam situasi rohani terpuruk dan ketahanan diri yang jeblok. Memperkuat kehidupan rohani dan menanamkan unsur-unsur ketahanan diri bisa membantu mencegah terjadinya aksi kekerasan seksual terhadap anak.

Keempat, menghukum para pelaku kejahatan seksual dengan hukuman penjara. Ketika seseorang melakukan kejahatan seksual, hukuman paling sepadan pada dia adalah penjara. Di penjara, pelaku perlu dibimbing dan diarahkan, agar kehidupan seksualnya terarah kepada hal yang benar. Hukuman penjara yang berlangsung lama dan proses pembinaan yang berkesinambungan jauh lebih efektif daripada menghukum orang dengan kebiri kimia.

Kelima, meminta pemerintah untuk merevisi hukuman kebiri kimia dan menerapkan hukuman lain yang lebih bermartabat dan berdaya transformatif. Hukuman kebiri kimia tidak lain hanyalah aksi balas dendam terhadap kejahatan seksual yang dilakukan seseorang. Alangkah malangnya hukum sebuah negara jika hukum tersebut bukannya membawa kebaikan tetapi malah memperburuk keadaan dan menciptakan masalah baru.
                          
6.  PENUTUP
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan fenomena aktual dan semakin marak pada era belakangan ini. Pemerintah maupun Gereja tentunya prihatin dan mengutuk aksi keji semacam ini. Kekerasan seksual terhadap anak perlu diberantas dan pelaku perlu dihukum seadil-adilnya, serta diberi pembinaan supaya tidak mengulangi lagi kejahatannya. Meski demikian, model dan pelaksanaan hukuman terhadap para pelaku kejahatan seksual mesti tetap memperhatikan aspek penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.

Hukuman kebiri kimia merupakan salah satu model hukuman yang diterapkan pemerintah tetapi ditolak Gereja. Kebiri kimia dinilai tidak efektif dan sangat merendahkan harkat dan martabat manusia. Manusia sebagai ciptaan mulia dan diadakan dengan amat baik oleh Allah tidak sepantasnya untuk dirusak hukuman kebiri. Manusia tidak punya hak untuk mengintervensi keindahan ciptaan Allah. Oleh karena itu, kebiri kimia perlu dievaluasi dan direvisi kembali.  



     [1] Informasi ini diperoleh dari berita berjudul “Jokowi Teken Perppu Kebiri Kimia Penjahat Seksual”, pada http://news.liputan6.com/read/2515627/jokowi-teken-perppu-kebiri-kimia-penjahat-seksual, edisi Rabu 25 Mei 2016.

       [2] Lihat berita berjudul “DPR-RI Sahkan Perppu Kebiri Menjadi Undang-Undang”, pada https://tirto.id/dpr-ri-sahkan-perppu-kebiri-menjadi-undang-undang-bTH3, edisi Kamis 13 Mei 2016.

       [3] Berbagai komentar pro dan kontra terhadap penetapan hukuman kebiri dapat pula dibaca pada artikel berjudul “Pro dan Kontra Hukuman Kebiri di Indonesia. Kamu di Sisi Mana, Nih?”, pada https://www.youthmanual.com/post/terkini/berita/pro-dan-kontra-hukuman-kebiri-di-indonesia-kamu-di-sisi-mana-nih.

       [4] Data ini merupakan hasil ringkas berita berjudul “KPAI Catat Pelecehan Seksual Dialami Anak Capai 58%”, pada https://news.okezone.com/news/kpai-catat-pelecehan-seksual-dialami-anak-capai-58%, edisi Jumat 13 Januari 2016.
       [5] Bagian ini saya kutip dari artikel berjudul “Hukuman Kebiri, Saatnya Dokter Katolik dan Pastor Bicara” pada http://www.sesawi.net/2016/06/09/hukuman-kebiri-saatnya-dokter-katolik-dan-pastor-bicara/. Artikel dimaksud berisi hasil wawancara Sesawi.Net dengan beberapa pastor dan dokter Katolik terkait hukuman kebiri kimia.

       [6] Pernyataan Arist Merdeka Sirait ini merupakan sari berita berjudul “Hukuman Ringan, Pelaku Kejahatan Seksual Diusulkan Kebiri” pada http://indonesia.ucanews.com/2014/05/14/hukuman-ringan-pelaku-kejahatan-seksual-diusulkan-kebiri/, edisi 14 Mei 2014.

       [7]Lihat berita “Jokowi Teken Perppu Kebiri Kimia Penjahat Seksual”, pada http://news.liputan6.com/read/2515627/jokowi-teken-perppu-kebiri-kimia-penjahat-seksual, edisi Rabu 25 Mei 2016.

       [8] Lihat berita “DPR-RI Sahkan Perppu Kebiri Menjadi Undang-Undang”, pada https://tirto.id/dpr-ri-sahkan-perppu-kebiri-menjadi-undang-undang-bTH3, edisi Kamis 13 Mei 2016.

       [9] Bandingkan penjelasan ini dengan artikel berjudul “Sekilas Sejarah dan Fakta Hukuman Kebiri” pada http://health.liputan6.com/read/2516594/sekilas-sejarah-dan-fakta-hukuman-kebiri.

       [10] Lihat artikel berjudul “Hukuman Kebiri, Saatnya Dokter Katolik dan Pastor Bicara” pada http://www.sesawi.net/2016/06/09/hukuman-kebiri-saatnya-dokter-katolik-dan-pastor-bicara/.

       [11] Penjelasan ini saya kutip dari artikel berjudul “Ini Efek Sangat Mengerikan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual” pada http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/26/ini-efek-sangat-mengerikan-hukuman-kebiri-bagi-pelaku-kejahatan-seksual.

       [12] Informasi ini termuat dalam berita “Jokowi Teken Perppu Kebiri Kimia Penjahat Seksual”, pada http://news.liputan6.com/read/2515627/jokowi-teken-perppu-kebiri-kimia-penjahat-seksual, edisi Rabu 25 Mei 2016.

       [13] Lihat pembahasan selengkapnya dalam artikel berjudul “Sekilas Sejarah dan Fakta Hukuman Kebiri” pada http://health.liputan6.com/read/2516594/sekilas-sejarah-dan-fakta-hukuman-kebiri.

       [14] Daftar negara penganut hukuman kebiri ini termuat dalam artikel “Ini Efek Sangat Mengerikan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual” pada http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/26/ini-efek-sangat-mengerikan-hukuman-kebiri-bagi-pelaku-kejahatan-seksual.

       [15] Penjelasan rinci terkait hal ini dapat dilihat dalam gambar infografis “Hukum Kebiri” pada media daring tirto.id.

       [16]  Sebagian besar penjelasan ini disampaikan dr. Nugroho Setiawan Sp.And dan dr. Eunice Pingkan Najoan Sp.PKJ dalam wawancara bersama Sesawi.Net yang termuat pada http://www.sesawi.net/2016/06/09/hukuman-kebiri-saatnya-dokter-katolik-dan-pastor-bicara/. Bandingkan juga pembahasan tentang dampak medis kebiri kimia pada http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/26/ini-efek-sangat-mengerikan-hukuman-kebiri-bagi-pelaku-kejahatan-seksual, dan juga gambar  infografis “Hukum Kebiri” pada media daring tirto.id.

       [17]Argumen ini dikemukakan Ketua KPAI Arist Merdeka Sirait dalam berita berjudul “Hukuman Ringan, Pelaku Kejahatan Seksual Diusulkan Kebiri” pada http://indonesia.ucanews.com/2014/05/14/hukuman-ringan-pelaku-kejahatan-seksual-diusulkan-kebiri /,  edisi 14 Mei 2014.

       [18] Penjelasan ini dapat dibaca lebih lanjut dalam berita berjudul “Ikatan Dokter Indonesia Tolak Jadi Eksekutor Hukum Kebiri” pada https://tirto.id/ikatan-dokter-indonesia-tolak-jadi-eksekutor-hukum-kebiri-beBz. Bandingkan juga dengan makalah seminar berjudul “Hukuman Pemberatan Dalam Perpu No. 1 Tahun 2016 Dan Kaitannya Dengan Penurunan Kejahatan Seksual Terhadap Anak: Perspektif Moral Kristiani” pada http://www.mirifica.net/2016/06/20/hukuman-pemberatan-dalam-perpu-no-1-tahun-2016-dan-kaitannya-dengan-penurunan-kejahatan-seksual-terhadap-anak-perspektif-moral-kristiani1/.

       [19] GS art. 12. Paulus, Ensiklik Gaudium et Spes, penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2011).

       [20] Jostein Gaarder, Dunia Sophie – Sebuah Novel Filsafat, penterj. Rahmani Astuti (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), p. 325.

       [21] Fredy Sebho, Estetika Tubuh – Seni Menjelajahi Diri (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), p. 3.

       [22] Pendapat Pater Peter C. Aman OFM saya kutip dari berita berjudul “Hukuman ringan, pelaku kejahatan seksual diusulkan kebiri” pada http://indonesia.ucanews.com/2014/05/14/hukuman-ringan-pelaku-kejahatan-seksual-diusulkan-kebiri/

       [23] Pokok pikiran ini saya kutip dari berita “Dosen Teologi Moral: Hukuman Kebiri Mirip Hukuman Mati” pada https://katoliknews.com/2016/06/11/dosen-teologi-moral-hukuman-kebiri-mirip-hukuman-mati/

       [24] Paskalis Lina, Moral Pribadi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), p. 102.

       [25] Bdk. GS art. 12.

       [26] Bdk. Gregorius Nule, Etika Hidup dan Kesehatan (ms) (Maumere: STFK Ledalero, 2013), pp. 51-54.

      [27] Penjelasan ini saya kutip dari makalah seminar berjudul “Hukuman Pemberatan Dalam Perpu No. 1 Tahun 2016 Dan Kaitannya Dengan Penurunan Kejahatan Seksual Terhadap Anak: Perspektif Moral Kristiani” pada http://www.mirifica.net/2016/06/20/hukuman-pemberatan-dalam-perpu-no-1-tahun-2016-dan-kaitannya-dengan-penurunan-kejahatan-seksual-terhadap-anak-perspektif-moral-kristiani1/.

       [28] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, penterj. Alex Armanjaya, Yosef M. Florisan, G. Kirchberger (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), p. 59.

       [29] Bandingkan makalah seminar berjudul “Hukuman Pemberatan Dalam Perpu No. 1 Tahun 2016 Dan Kaitannya Dengan Penurunan Kejahatan Seksual Terhadap Anak: Perspektif Moral Kristiani” pada http://www.mirifica.net/2016/06/20/hukuman-pemberatan-dalam-perpu-no-1-tahun-2016-dan-kaitannya-dengan-penurunan-kejahatan-seksual-terhadap-anak-perspektif-moral-kristiani1/

       [30] National Conference of Catholic Bishops, Ethical and Religious Directives for Catholic Healh Care Services, No. 29.

       [31] CB. Kusmaryanto, Bioetika (Jakarta: Penerbit Kompas, 2016), pp. 188-189.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Di Rumah Bapa-Ku Banyak Tempat Tinggal” [Renungan Ibadat Kematian]

Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. (Yohanes 14:1-2a) Keluarga yang berduka, Bapak/Ibu/Sdr/I yang terkasih dalam Yesus ... Air mata akan selalu membasahi pipi, ketika kita mengenang almarhum Bpk. Silvanus Meng Ada. Tak ada yang sanggup membendung duka, tiada yang sanggup menahan derita. Namun air mata kita, hendaknya dimaknai sebagai duka atas kepergian, bukan duka atas kehilangan. Meninggalnya bapak hanyalah tanda kepergian, dan kita akan menyusulnya kelak. Bapak telah meninggalkan kita, meninggalkan rumah ini. Namun di masa mendatang, kita akan bersama-sama bapak lagi, di Rumah Bapa Allah. Bagi kita yang masih hidup, rumah pertama-tama dimaknai sebagai bangunan, tempat kita berdiam. Ada rumah beratap senk, rumah beratap genteng, rumah beratap bambu, rumah beratap alang-alang, rumah beratap rumbia. Ada rumah berdiding tembok, rumah berdinding papan, rumah berdinding pelupuh. Ada...

Materi Rekoleksi Orang Muda Katolik (OMK) - Renungan II

OMK Paroki St. Yohanes Pemandi Lengko Elar  (Foto: Facebook Fill Wulengsa) Tema: Meneladani Maria – Memberi Diri dan Melayani Tujuan : (1) Mendalami teks Lukas 1:26-38; (2) Menemukan keutamaan-keutamaan dalam diri Perawan Maria; (3) Menerapkan teladan Maria dalam kehidupan sehari-hari. Inspirasi : Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Anak Muda Sedunia XXXIV, Panama, Januari 2019 dan Injil Lukas 1:26-38. PENGHUBUNG: Ada sebuah kesamaan yang menghubungkan Maria (saat ia mendapat kabar gembira) dengan kaum muda yaitu sama-sama orang muda. Ketika pertama kali mendapat panggilan Allah, Maria diperkirakan masih berusia 16 tahun. Dalam OMK, Maria tergolong kelompok taruna. JAWABAN MARIA: Saat mendapat kabar dari malaikat Gabriel, Maria dengan yakin menjawab: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba TUHAN; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( ay. 38). Jawaban Maria adalah sebuah “YA” yang berani dan murah hati. Sebuah jawaban YA dari seseorang anak muda yang telah memahami ra...

Susunan Ibadat Tanpa Imam Untuk Hari Minggu Palma (A/1)

A.       PEMBUKAAN DAN PERARAKAN 1.         Nyanyian Pembuka (Untuk membuka ibadat, mempersatukan umat, menyambut tema ibadat,   mengiring masuknya petugas liturgy. Hendaknya dinyayikan bersama). 2.         Tanda Salib Pemandu/Pengantar (P) dari tempat duduknya menandai diri dengan tanda salib; demikian juga umat, sambil berkata: P : Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. U : Amin. 3.         Salam Pembuka Pemandu/Pengantar (P) mengucapkan salam berikut dengan tangan tertutup: P :   Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus selalu bersamamu . U : Dan bersama rohmu. 4.         Kata Pembuka/Tema/Pengantar P :    Saudara-saudari terkas...