Langsung ke konten utama

Budaya Belis dan Ancaman Marketisasi Perempuan Manggarai

Beberapa remaja Manggarai tampak cantik dalam balutan busana adat. (Foto: Google).

Salah satu fenomena yang marak diperbincangkan dalam komunitas masyarakat Manggarai beberapa dekade terakhir adalah terlampau besarnya nilai belis[1] pada sebuah acara perkawinan. Belis, yang dalam wujud real berupa penyerahan sejumlah uang dan barang dari pihak pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan, dianggap terlalu mengutamakan aspek ekonomi dan cenderung mengabaikan aspek sosio-religius kemasyarakatan.

Belis tidak lagi direfleksikan sebagai bentuk penghargaan terhadap martabat pengantin perempuan, melainkan telah beralih menjadi marketisasi[2], sebuah proses memperdagangkan perempuan demi mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Maka tidaklah mengherankan jika belis seorang perempuan Manggarai yang dulunya berkisar antara 5 sampai 10 juta rupiah, kini meningkat drastis hingga mencapai 200, 300, bahkan 500 juta rupiah. Lantas apa sesungguhnya pandangan masyarakat Manggarai tentang belis? Bagaimana Teologi Feminis membaca ancaman marketisasi perempuan Manggarai? Apa solusi konkret yang bisa disumbangkan Gereja?

Masyarakat berkebudayaan Manggarai[3] memaknai belis sebagai suatu bentuk persembahan keluarga pengantin laki-laki (anak wina) kepada keluarga pengantin perempuan (anak rona). Persembahan itu diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap martabat pengantin perempuan dan keluarganya, sekaligus sebagai tanda terima kasih karena pengantin perempuan rela keluar dari ikatan kekerabatannya yang semula dan beralih menjadi bagian dari keluarga pengantin laki-laki.[4] Oleh karena itu, hal yang menjadi pokok perhatian bukan pada besarnya jumlah belis, melainkan pada tingginya nilai penghargaan terhadap martabat pengantin perempuan yang diungkapkan melalui belis.

Idealnya, belis adalah hasil kesepakatan bersama antara keluarga besar kedua pengantin yang diwakili oleh juru bicara (tongka) masing-masing. Namun dalam kenyataannya, pihak yang paling menentukan penetapan belis adalah saudara laki-laki ibu atau om/paman dari pengantin perempuan (juga disebut sebagai anak rona). Pihak lain di luar itu – termasuk pengantin perempuan dan orang tuanya – nyaris tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam menetapkan besaran belis.[5] Wujud belis umumnya berupa uang (seng paca) dan barang (hewan ternak atau perlengkapan rumah tangga pengantin baru). Pada perkembangannya kemudian, transaksi belis lebih banyak berupa uang tunai. [6]

Menurut saya, dominasi laki-laki dalam menentukan belis dan penetapan belis yang terlampau tinggi, merupakan dua persoalan inti lahirnya ancaman marketisasi perempuan Manggarai. Dominasi laki-laki, yang direpresentasi oleh om/paman pengantin perempuan, menjadi tanda betapa budaya Manggarai membuat pengabaian sistematis terhadap kehadiran perempuan, bahkan saat perempuan seharusnya menentukan harga atas dirinya sendiri. Pengabaian tersebut sekaligus juga menegaskan posisi perempuan Manggarai sebagai makhluk kelas dua  (second sex) setelah laki-laki. Seluruh kelangsungan hidup perempuan Manggarai, sejauh masih berpatokan pada budaya, akan senantiasa berada di bawah kendali laki-laki, termasuk ketika sang perempuan “diberi harga” pada perkawinannya.

Hal kedua yang patut disoroti dalam kaitan dengan marketisasi perempuan Manggarai adalah tingginya belis yang ditetapkan atas diri pengantin perempuan. Budaya belis yang dulunya merupakan simbol penghormatan terhadap martabat perempuan telah mengalami degradasi makna menjadi pemberian harga dalam arti yang sebenar-benarnya atas kualitas diri seorang perempuan. Oleh karena itu, terjadi hukum perbandingan yang berlaku lurus antara kualitas dan belis: semakin tinggi status sosial, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin menarik penampilan dan seterusnya, maka akan semakin tinggi pula belis si pengantin perempuan.

Setelah membaca kuliah Teologi Feminis di satu pihak dan menemukan ancaman marketisasi perempuan Manggarai di pihak lain, saya coba mengangkat dua pokok pikiran para teolog feminis yang kiranya membantu meminimalisasi ancaman marketisasi dimaksud. Pertama, dominasi om/paman (laki-laki) dalam penentuan belis adalah bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan Manggarai. Marketisasi tersebut bukanlah keadaan biasa-biasa, melainkan sebuah kondisi bermasalah yang diakibatkan oleh pemberlakuan sistem patriarkat dalam kebudayaan Manggarai.

Kedua, bentuk ketidakadilan ini  mesti diberantas, pertama-tama oleh kaum perempuan Manggarai sendiri dan kemudian didukung oleh kelompok pemerhati lainnya. Didukung kemajuan taraf pendidikan saat ini, perempuan Manggarai perlu menata ide dan merancang aksi praktis, menantang sistem budaya yang dikendalikan seturut kepentingan laki-laki.[7] Perempuan Manggarai mesti berani mengungkapkan potensi diri: mengupayakan kesetaraan penuh perempuan dengan laki-laki dalam seluruh ranah kehidupan bermasyarakat (feminisme liberal), mengupayakan perbaikan masyarakat dengan menekankan berbagai sumbangsih yang ditunaikan oleh kaum perempuan (feminisme kultural), dan mengupayakan penghapusan dominasi patriarkat (feminisme radikal). [8] Berkenaan dengan upaya pemberantasan ketidakadilan ini, perempuan Manggarai boleh mengandalkan Gereja sebagai mitra dan model perjuangan.

Sampai dengan saat ini, Gereja masih memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup masyarakat berkebudayaan Manggarai. Kebajikan moral dan kebijakan hidup yang ditawarkan Gereja, dalam kenyataannya, bisa bersanding secara damai dengan kebudayaan setempat. Segenap elemen masyarakat, termasuk kelompok yang masih berpegang teguh pada budaya, menerima Gereja sebagai komunitas religius yang disegani dan patut dipatuhi.

Saya pikir, posisi sejajar seperti ini bisa menjadi peluang bagi Gereja dan kaum perempuan Manggarai untuk menggugat dominasi laki-laki dalam penetapan belis. Gereja bisa mengingatkan kelompok patriarkat bahwa pertama, laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama, satu tidak boleh mendominasi yang lain. Kedua, martabat kaum perempuan tidak bisa diukur dengan uang/barang, penetapan belis yang terlalu tinggi hanya akan menjerumuskan orang pada pola pemahaman keliru seperti ini. Ketiga, masyarakat yang menghayati budaya Manggarai dalam era modern sekarang ini perlu diingatkan lagi hakekat belis sebagai bentuk penghargaan terhadap martabat perempuan, bukan komoditi yang bisa dimarketisasi.   

Akhirnya, semua pihak perlu menyadari realitas minus bahwa ada ancaman marketisasi dalam proses penetapan belis kaum perempuan di Manggarai. Ancaman marketisasi ini merupakan masalah bersama yang penting untuk dituntaskan demi pemuliaan harkat dan martabat manusia. Kaum perempuan, Gereja, pelaku budaya dan seluruh elemen masyarakat perlu bekerja sama demi mengembalikan belis pada tujuannya yang semula.     
***


CATATAN


[1] Menurut Kamus Umum  Bahasa Indonesia, kata belis berarti maskawin (di Sumba).  Masyarakat berkebudayaan Manggarai menerjemahkan kata belis dengan istilah paca.

[2] Istilah marketisasi belum dikenal luas penggunaannya dalam konteks Bahasa Indonesia. Namun dalam banyak tulisan, para ahli sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sebuah gejala di mana urusan-urusan yang sebetulnya tidak berhubungan langsung dengan uang (unsur ekonomi) dijadikan berurusan dengan uang. Contoh marketisasi pendidikan, marketisasi budaya, marketisasi agama, dan lain-lain. Penggunaan istilah marketisasi dalam tulisan saya ini difokuskan pada pengalihan makna belis dari penghargaan terhadap martabat pengantin perempuan kepada praktik penetapan nominal belis yang terlampau besar demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

[3] Masyarakat berkebudayaan Manggarai meliputi tiga wilayah kabupaten yakni Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Pada ketiga kabupaten ini tersebar suku-suku kecil  dengan kekhasan budaya masing-masing, misalnya Todo, Cibal, Congkar, Biting, Rembong, Rajong, Manus, Rongga, Kolang, dll. Suku-suku kecil ini umumnya disatukan lewat kebudayaan yang lebih berlaku umum yakni budaya Manggarai.

[4] Wawancara dengan bpk. Abdul Tuju.

[5] Wawancara dengan bpk. Agustinus Bagus.

[6] Max Regus dan Kanisius Teobaldus Deki, Gereja Menyapa Manggarai – Menghirup Keutamaan Tradisi – Menumbuhkan Cinta – Menjaga Harapan Satu Abad Gereja Manggarai – Flores, Jakarta: Parrhesia, 2011, hlm. 103.

[7] Clifford, Anne M. Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere: Penerbit Ledalero, 2002, hlm. 29.

[8] Ibid, hlm. 41.


DAFTAR RUJUKAN
      Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
  
C  lifford, Anne M. Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere: Penerbit Ledalero, 2002.
Regus, Max dan Kanisius Teobaldus Deki (Eds.). Gereja Menyapa Manggarai – Menghirup Keutamaan Tradisi – Menumbuhkan Cinta – Menjaga Harapan Satu Abad Gereja Manggarai – Flores. Jakarta: Parrhesia, 2011.

Bagus, Agustinus. Tokoh adat Congkar. Wawancara via seluler, 2 Desember 2016.
Tuju, Abdul. Tokoh adat Biting. Wawancara via seluler, 2 Desember 2016.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Di Rumah Bapa-Ku Banyak Tempat Tinggal” [Renungan Ibadat Kematian]

Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. (Yohanes 14:1-2a) Keluarga yang berduka, Bapak/Ibu/Sdr/I yang terkasih dalam Yesus ... Air mata akan selalu membasahi pipi, ketika kita mengenang almarhum Bpk. Silvanus Meng Ada. Tak ada yang sanggup membendung duka, tiada yang sanggup menahan derita. Namun air mata kita, hendaknya dimaknai sebagai duka atas kepergian, bukan duka atas kehilangan. Meninggalnya bapak hanyalah tanda kepergian, dan kita akan menyusulnya kelak. Bapak telah meninggalkan kita, meninggalkan rumah ini. Namun di masa mendatang, kita akan bersama-sama bapak lagi, di Rumah Bapa Allah. Bagi kita yang masih hidup, rumah pertama-tama dimaknai sebagai bangunan, tempat kita berdiam. Ada rumah beratap senk, rumah beratap genteng, rumah beratap bambu, rumah beratap alang-alang, rumah beratap rumbia. Ada rumah berdiding tembok, rumah berdinding papan, rumah berdinding pelupuh. Ada...

Susunan Ibadat Tanpa Imam Untuk Hari Minggu Palma (A/1)

A.       PEMBUKAAN DAN PERARAKAN 1.         Nyanyian Pembuka (Untuk membuka ibadat, mempersatukan umat, menyambut tema ibadat,   mengiring masuknya petugas liturgy. Hendaknya dinyayikan bersama). 2.         Tanda Salib Pemandu/Pengantar (P) dari tempat duduknya menandai diri dengan tanda salib; demikian juga umat, sambil berkata: P : Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. U : Amin. 3.         Salam Pembuka Pemandu/Pengantar (P) mengucapkan salam berikut dengan tangan tertutup: P :   Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus selalu bersamamu . U : Dan bersama rohmu. 4.         Kata Pembuka/Tema/Pengantar P :    Saudara-saudari terkas...

Materi Rekoleksi Orang Muda Katolik (OMK) - Renungan II

OMK Paroki St. Yohanes Pemandi Lengko Elar  (Foto: Facebook Fill Wulengsa) Tema: Meneladani Maria – Memberi Diri dan Melayani Tujuan : (1) Mendalami teks Lukas 1:26-38; (2) Menemukan keutamaan-keutamaan dalam diri Perawan Maria; (3) Menerapkan teladan Maria dalam kehidupan sehari-hari. Inspirasi : Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Anak Muda Sedunia XXXIV, Panama, Januari 2019 dan Injil Lukas 1:26-38. PENGHUBUNG: Ada sebuah kesamaan yang menghubungkan Maria (saat ia mendapat kabar gembira) dengan kaum muda yaitu sama-sama orang muda. Ketika pertama kali mendapat panggilan Allah, Maria diperkirakan masih berusia 16 tahun. Dalam OMK, Maria tergolong kelompok taruna. JAWABAN MARIA: Saat mendapat kabar dari malaikat Gabriel, Maria dengan yakin menjawab: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba TUHAN; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( ay. 38). Jawaban Maria adalah sebuah “YA” yang berani dan murah hati. Sebuah jawaban YA dari seseorang anak muda yang telah memahami ra...