Pada Sabtu (8/4/2017) pagi menjelang siang, saya
berkesempatan menyambangi kediaman Alex Longginus, Bupati Sikka Periode
2003-2008, di bilangan Pasar Alok, Maumere. Sambil duduk di teras rumah dan mendapat
suguhan segelas kopi Tugu Buaya, saya
memperkenalkan diri dan menyatakan tujuan kedatangan saya. Dan seperti telah
lama dikenal, Alex dengan penuh antusias menyatakan kesediaannya
untuk berbincang-bincang dengan saya. Hari itu, kami berbincang tentang Paroki St. Yosef Pekerja Wairpelit.
Meskipun berjalan dalam suasana santai,
pembicaraan kali ini tetap menghasilkan rekomendasi-rekomendasi penting. Sosok Alex yang cerdas, kritis, tegas dan berpengalaman, menyatakan secara
terang-terangan apresiasi, kritikan dan harapan-harapannya tentang Gereja
Paroki Wairpelit. Untuk sebuah perubahan, ujar Alex, “kita mesti
terbuka menyatakan kelebihan, kekurangan dan rancang kerja”.
Pada hampir seluruh isi pembicaraan, Alex banyak kali menyatakan hubungan erat antara Paroki Wairpelit dengan
Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Alex menegaskan bahwa
perayaan emas Paroki Wairpelit mesti dimulai dengan menyatakan terima kasih atas
jasa para imam, bruder dan frater di Seminari Ledalero.
“Gereja Paroki Wairpelit, dalam ingatan saya, adalah
gereja para karyawan Seminari Ledalero. Gereja ini dipinjamkan kepada umat
Paroki Wairpelit. Syukur kepada Allah ketika pada usianya yang ke-50 tahun,
umat Paroki Wairpelit sudah semakin mandiri dan memiliki gedung gereja
sendiri,” katanya.
Namun, gereja menurut Alex bukan saja
sebatas gedung tempat beribadah. Gereja yang paling utama adalah persekutuan
umat beriman yang mendiami Paroki Wairpelit. “Patut disayangkan bahwa kesadaran
umat Wairpelit tentang makna Gereja yang sesungguhnya baru muncul akhir-akhir
ini. Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar umat masih menganggap Gereja
sebagai bagian terpisahkan dari diri mereka,” tandas Alex.
Perihal Kemandirian Umat
“Masa transisi berjalan lamban dan terlalu lama”, kata
Alex Longginus terkait tingkat kemandirian umat Paroki Wairpelit. Peralihan dari
pola-pola yang diterapkan para misionaris SVD zaman lampau kepada konsep Gereja
mandiri yang ditekankan saat ini dinilainya susah diterapkan. Umat Paroki
Wairpelit terlalu lama dimanjakan para misionaris dari Eropa. Berbagai macam
kemudahan, khususnya pada bidang ekonomi, menjadikan umat terlena dan kehampaan
tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup paroki.
![]() |
Alex Longginus |
Tantangan yang dikemukakan Alex ini
sebetulnya menjadi tantangan utama yang dihadapi sebagian besar Gereja Katolik
di Indonesia. Konsep Gereja mandiri yang sejatinya menuntut komitmen umat agar
secara mandiri menjalankan kehidupan paroki masing-masing belum berjalan
lancar. “Umat kurang proaktif dan cenderung menunggu arahan uskup atau pastor
paroki,” tuturnya. Manajerial kehidupan berparoki, menurut
pengamatan dia “seolah-olah menjadi tanggung jawab kaum berjubah” sehingga “umat
tinggal menikmatinya saja”.
Untuk konteks umat Paroki Wairpelit, Alex menitikberatkan kemandirian ini pada bidang ekonomi. Menurut dia, kemandirian ekonomi umat Paroki Wairpelit belum sepenuhnya tampak ke
permukaan. Minimnya semangat memberi dan kurang cermatnya pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan menjadi sebab kunci seretnya langkah menuju kemandirian
dimaksud.
“Mental kita sebagai orang timur adalah lebih suka
menerima dan berat untuk memberi. Dengan kata lain, semangat memberi kita
rendah, apalagi jika harus memberikan sesuatu kepada Tuhan atau pastor paroki,”
ungkapnya.
Mental seperti ini dipahami Alex sebagai
kegagalan umat untuk beralih dari konsep Gereja zaman lampau kepada konsep
Gereja zaman modern ini. Pada zaman lampau, kata Alex, “segala
kebutuhan dipenuhi sendiri oleh para misionaris dari Eropa. Pengaturan
fasilitas dan rumah tangga paroki menjadi tanggung jawab pastor, umat tinggal
menikmatinya saja”.
Ketika jumlah imam dari Eropa semakin berkurang
dan digantikan oleh imam-imam pribumi, terjadi kejutan dalam diri umat.
Tuntutan agar memiliki kemandirian dalam hidup menggereja menjadi tantangan
berat bagi umat. Sebagian besar umat pun terlihat belum siap untuk beralih.
Perlu proses penyadaran terus-menerus bahwa kelangsungan hidup paroki menjadi
tanggung jawab seluruh umat.
Selain itu, faktor lain yang turut memengaruhi
tingkat kemandirian ekonomi sebuah paroki adalah ketelitian dan keterbukaan tim
pengelola keuangan.Bila metode pertanggungjawaban keuangannya baik, umat akan
lebih mudah menyerahkan uang mereka kepada Gereja. Namun, bila
pertanggungjawaban keuangan tidak jelas, umat akan semakin enggan menyerahkan
sesuatu kepada Gereja, meski sebenarnya mereka bisa melakukannya.
“Saya cukup berbangga melihat sistem pengelolaan
keuangan yang diterapkan di Paroki Wairpelit selama beberapa tahun terakhir
ini. Sistem satu pintu yang diterapkan pastor paroki dan dewan saya kira bagus
untuk dikembangkan,” puji Alex. Menurut dia, laporan kondisi keuangan
paroki yang disampaikan setiap hari Minggu juga bagus. Dengan demikian, “umat
bisa mengetahui kondisi keuangan paroki”.
Alex optimis bahwa umat Paroki Wairpelit
sebenarnya adalah orang-orang baik yang memiliki semangat memberi. Hanya saja,
mereka masih kurang yakin dengan pemanfaatan keuangan yang mereka serahkan ke
paroki. Hal yang perlu dibenahi pastor paroki dan dewannya adalah bagaimana
membangun kepercayaan umat terhadap sistem pengaturan keuangan yang mereka
jalankan.
“Jika sistem pengelolaannya baik, saya yakin umat
akan semakin tergerak untuk memberi. Semuanya hanya soal bagaimana membangun
kepercayaan dan keterbukaan,” kata Alex Longginus.
Peluang dan Tantangan
Perayaan emas Paroki Wairpelit merupakan momen
istimewa untuk berhenti sejenak, mengevaluasi perjalanan hidup yang sudah
dilalui dan membangun rencana menyongsong masa mendatang. Kesadaran ini diakui
pula oleh Alex Longginus. Untuk maksud tersebut, Alex secara khusus
membuat beberapa catatan terkait peluang dan tantangan meningkatkan kemandirian
umat di Paroki Wairpelit.
Pertama,
peluang. Menurut Alex, hubungan erat antara Paroki Wairpelit dan
Seminari Tinggi Ledalero menjadi peluang utama yang bisa meningkatkan
kemandirian umat. Proses penyadaran dari waktu ke waktu semestinya bisa
dilakukan Ledalero kepada umat di sekitar mereka.Pada sisi sebaliknya, keterbukaaan
hati umat Wairpelit untuk menerima setiap masukan pun dirasa penting untuk
sebuah kemajuan.
Sehubungan dengan itu, pembauran antara karyawan
dan karyawati Ledalero ke tengah umat Wairpelit hendaknya membawa dampak
positif terhadap umat. Alangkah bagusnya jika pengalaman tentang sistem
pengelolaan keuangan yang diperoleh karyawan dan karyawati di Seminari Ledalero
mereka bagikan juga kepada umat lain di sekitar mereka.
Peluang kedua adalah cenderung stabilnya tingkat
penghasilan ekonomi masyarakat. Hasil usaha pertanian, perkebunan, peternakan,
tenun dan jenis usaha lainnya merupakan modal berharga untuk mendongkrak sistem
kemandirian. Pendapatan ini jika dikelola secara baik tentu saja mampu membawa
perubahan bagi kehidupan berparoki.
Peluang ketiga lebih berkaitan dengan besarnya
dukungan pemerintah bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Perguliran dana desa,
penguatan modal pada usaha ekonomi kreatif, pembangunan infrastruktur serta
fasilitas-fasilitas umum, merupakan dukungan berarti bagi upaya peningkatan
kesejahteraan. Dukungan-dukungan ini, jika diimbangi dengan kerja keras
masyarakat pasti akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Kedua, tantangan.
Hal pertama yang menjadi tantangan kehidupan mandiri Gereja Wairpelit adalah
rendahnya semangat memberi dalam diri umat. Untuk itu, pastor paroki dan
dewannya mesti terus berjuang membuka pola pikir umat dan terusmemberi
penyadaran kepada mereka.
Tantangan kedua adalah rendahnya tingkat
kepercayaan umat terhadap sistem pengelolaan keuangan paroki. Umat kerap kali
menaruh curiga bahwa uang yang mereka serahkan ke paroki tidak dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Jalan keluarnya adalah pastor paroki dan dewannya mesti
menata sistem keuangan secara baik dan melaporkan kondisi keuangan secara jujur
dan terbuka.
Tantangan ketiga berhubungan dengan mental
konsumtif umat. Hal ini tampak jelas ketika hasil usaha dipergunakan hampir seluruhnya
demi tujuan konsumtif. Umat belum sungguh-sungguh menyadari pentingnya prinsip
hidup hemat dan menabung. Segala pendapatan yang diperoleh dihabiskan begitu
saja tanpa membuat perhitungan matang akan kebutuhan pada masa-masa mendatang.
Tantangan keempat berupa belum adanya manajemen
keuangan dalam keluarga-keluarga umat di Wairpelit. Pemasukan dan pengeluaran
keuangan rumah tangga dibiarkan begitu saja tanpa adanya perhitungan yang
matang. Akibatnya, pengeluaran sering kali menjadi lebih besar daripada
pemasukan.
Menurut Alex, peluang dan tantangan ini
perlu diperhatikan secara serius oleh pastor paroki dan seluruh umat Paroki
Wairpelit. Kemandirian hidup berparoki, khususnya pada bidang ekonomi, baru
bisa berjalan jika hal-hal ini diperhatikan secara lebih serius. Namun seandainya
hal-hal ini diabaikan, upaya peningkatan kemandirian paroki akan terus menjadi
mimpi, sulit untuk direalisasikan.
Gereja Baru dan Harapan Baru
Meskipun menyampaikan banyak gugatan, Alex pada akhirnya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas setiap
kemajuan yang dialami umat Paroki Wairpelit. Menurut Alex, umat
Wairpelit yang ada saat ini sudah jauh berbeda dengan umat Wairpelit beberapa
tahun lalu. “Cara pandang umat tentang Gereja telah banyak berubah. Umat lebih
merasa diri sebagai Gereja itu sendiri. Meski tentu, belum semua umat memiliki
pandangan seperti ini,” katanya.
Berkenaan dengan perubahan pola pikir tersebut,
Alex lantas mengaitkannya dengan keberhasilan umat Wairpelit
membangun sebuah gedung gereja baru. Berdirinya gereja baru, sebut Alex, merupakan prestasi terbaik seluruh umat Wairpelit sesudah 50 tahun menjalani
hidup berparoki. Umat sudah mampu keluar dari zona nyaman diri mereka sendiri
dan mulai melakukan sesuatu bagi kemajuan hidup bersama.
“Keikutsertaan para donatur itu mutlak perlu,”
ungkapnya. Sebab menurut dia, manusia adalah makhluk sosial yang
hanya mampu bertahan hidup dalam kebersamaan dan uluran tangan orang lain.
“Namun pembangunan baru bisa berjalan baik jika umat menjadi pelaku utama dari
pembangunan itu sendiri,” tegasnya.
Terkait pernyataannya ini, Alex mengaku
senang karena umat Wairpelit sudah punya rasa memiliki terhadap paroki mereka
sendiri. Paroki, bagi umat Wairpelit, bukan lagi kepunyaan misionaris asing
atau Seminari Ledalero, melainkan kepunyaan umat. Rasa memiliki ini pun tampaknyata
melalui tekad dan komitmen mereka untuk menata seluruh aspek kehidupan paroki
menjadi lebih mandiri lagi.
Demi menyongsong masa-masa mendatang, Alex berharap agar umat Paroki Wairpelit pertama-tama membangun kualitas
iman mereka menjadi lebih kokoh lagi. Kemandirian dalam seluruh aspek kehidupan
menggereja, kata Alex, hanya bisa terwujud jika umat memiliki
ketahanan rohani yang matang.
“Membangun Gereja bukanlah sebatas membangun
gedung kokoh yang berakar jauh hingga memeluk batu di kedalaman bumi. Membangun
Gereja yang sebenar-benarnya adalah menata komunitas umat dengan kualitas iman
yang berakar sampai ke kedalaman hati,” kata Alex.
Bersamaan dengan penyampaian harapannya tersebut,
Alex menyatakan selamat berbahagia atas usia 50 tahun Paroki St.
Yosef Pekerja Wairpelit. “Selamat merayakan usia emas bagi umat, pastor paroki
dan Seminari Ledalero. Jadikan momen bersejarah ini sebagai kesempatan
membongkar kekurangan, mengumpulkan kualitas positif dan menyusun rencana
menyongsong hari esok yang lebih baik,” tutupnya.
Maka demikianlah, Wairpelit yang sedang berbahagia
atas usia emasnya itu dicintai dengan ragam cara oleh mereka yang pernah
mengenalnya. Ada yang mencintainya dengan cara mengapresiasi kualitas-kualitas
positif yang dimilikinya. Ada juga yang mencintainya dengan cara mengkritisi
kekurangan-kekurangannya, menggugat ketidakmatangannya dalam menjalani hidup. Saya
kira, Alex Longginus mencintai Wairpelit melampaui dua cara ini. Ia mencintai
Wairpelit dengan mengapresiasi sekaligus menggugatnya. (Oleh: Yovan Rante, SVD)
Komentar
Posting Komentar