Pada Rabu, 11 Januari 2017 lalu, saya bersama beberapa
frater dan imam dari Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero menghadiri kegiatan
Ibadat Ekumene di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Kristus
Jawaban Cabang Geliting, Kewapante. Ibadat bernuansa Natal dan Tahun Baru
bersama ini melibatkan tiga pihak yakni Gereja Katolik,
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Cabang Kewapante dan GPPS Jemaat Kristus
Jawaban Cabang Geliting.
Beberapa tokoh yang turut serta dalam kegiatan ini antara
lain Pater Lukas Jua SVD (Wakil Provinsial SVD Ende), Pendeta Emiliana Leny
(GPPS Jemaat Kristus Jawaban Cabang Geliting), Pendeta Mega Paipialy Manggoa
(GMIT), Pater Yeremias Purin Koten SVD (Pastor Paroki Kewapante), Rafael Raga
(Ketua DPRD Sikka), Alfonsus Naga (Camat Kewapante sekaligus Ketua FKUB
Kewapante) dan ratusan umat lainnya.
Sebagaimana biasanya sebuah Ibadat Ekumene, kegiatan hari
itu diisi dengan menyanyikan lagu pujian, berdoa bersama serta mendengarkan
sabda dan renungan yang dibawakan Pater Lukas Jua SVD. Setelah ibadat, acara
dilanjutkan dengan resepsi sederhana yang turut dihadiri sekelompok umat muslim
Geliting. Dalam resepsi ini diadakan juga acara penyalaan obor toleransi dan
pengumpulan dana solidaritas untuk korban bencana gempa Aceh yang terjadi pada
Desember 2016 lalu.[1]
Bersama teman-teman frater, saya mendapat kesempatan untuk
menyanyikan tiga lagu pujian. Kemudian secara pribadi, saya mendapatkan
kesempatan untuk membacakan sebuah puisi bertema harapan akan bangkitnya
persatuan antarumat beragama.
Kegiatan yang saya jalankan ini, saya maknai sebagai salah
satu contoh dialog ekumene dalam konteks lokal Kota Maumere, khususnya
Kecamatan Kewapante. Kehadiran anggota tiga Gereja: Katolik, GPPS Jemaat
Kristus Jawaban dan GMIT pertama-tama merupakan tanda bahwa di kota
sekecil Maumere saja keanekaragaman Gereja sudah terbentuk. Keanekaragaman ini
jika tidak diarahkan secara benar akan mengarahkan masing-masing kelompok umat
pada sikap fanatisme sempit kelompoknya sendiri sambil mulai membangun
kecurigaan terhadap kelompok lain.
Saya merefleksikan beberapa hal penting dari kegiatan
ini. Pertama, para pelaku dialog ekumene sudah menyadari
adanya perbedaan antara Gereja mereka masing-masing. Perbedaan tersebut bisa
jadi dari segi rumusan/ajaran iman, bisa juga berkaitan dengan tatacara
peribadatan. Pada awalnya, saya melihat masing-masing pihak masih memiliki
sikap canggung untuk bertindak. Namun beberapa saat selanjutnya sikap itu
hilang dan berganti dengan rasa sukacita yang sama dalam diri semua peserta.[2]
Kedua, kesadaran akan adanya perbedaan tidak
lantas membuat para pelaku dialog ekumene membentengi diri dalam Gereja
masing-masing. Sebaliknya mereka berani keluar dan bergaul dengan
saudara-saudara dari komunitas Gereja yang berbeda.[3] Sikap
yang paling ditekankan di sini adalah penghargaan terhadap kekhasan masing-masing
Gereja. Pada titik ini, umat peserta kegiatan mendapat penyadaran bahwa Yesus
Kristus hanya mendirikan satu Gereja yang tunggal dan Dia ingin agar seluruh
umat Kristen bergabung di dalam Gereja tersebut. [4]
Ketiga, dialog ekumene ini hanya bisa terjadi
bila masing-masing pihak menyadari panggilan hidup yang sama yakni mewartakan
Injil Yesus Kristus kepada segala makhluk. Lagu, doa dan renungan yang
disampaikan dalam Ibadat Ekumene ini memuat penganugerahan tugas yang seragam
yakni mewartakan Kristus yang baru lahir kepada seluruh dunia. Karya pewartaan
Injil itu tidak lagi dianggap sebagai tugas ekslusif Gereja tertentu saja,
melainkan tugas semua pengikut Yesus entah apapun Gereja-nya.
Keempat, ketika masing-masing anggota dalam satu
Gereja sudah bisa bergabung bersama anggota dari Gereja lain, persoalan seputar
siapa yang terbaik di antara mereka akan memudar. Lebih tinggi dari itu,
perjuangan mereka akan diarahkan kepada usaha menyelesaikan persoalan hidup
berbangsa dan bernegara entah itu pendidikan, kesehatan, hukum, kebudayaan dan
lain-lain.
Saya kira, kegiatan mengumpulkan sumbangan untuk korban
gempa Aceh[5] merupakan langkah awal dari kesadaran
tersebut. Setiap Gereja menjadi semakin sadar bahwa semua Gereja memiliki satu
tugas yang sama yakni melakukan kebaikan kepada sesama warga bangsa.
Kelima, menyadari bahwa dalam banyak hal
dialog ekumene masih terbatas pada hal-hal peribadatan. Dialog iman belum
banyak dikerjakan. Hal ini pertama-tama terjadi karena masing-masing pihak
belum cukup terbuka untuk membagikan refleksi iman dalam Gerejanya
masing-masing.
Hal kedua yang mempengaruhinya adalah adanya kecemasan bila
dalam dialog iman tersebut ada pihak-pihak yang akan dirugikan. Keenam, kehadiran
tokoh pemerintah (Camat Kewapante) dan wakil rakyat (Ketua DPRD Sikka) turut
memberi peluang agar gerakan seperti ini bisa mendapat perhatian dan dukungan
dari pemerintah.
Akhirnya, kuliah Teologi Ekumene selama satu semester ini
sudah banyak membuka cakrawala berpikir saya tentang pentingnya gerakan ekumene.
Saya mampu membaca kegiatan Ibadat Ekumene yang pernah saya jalankan pada
Januari lalu atas pokok-pokok pikiran Teologi Ekumene.
Satu hal yang bagi saya mengandung pesan harapan adalah
pernyataan Pater Georg Kirchberger SVD bahwa Gereja semestinya tidak terlalu
banyak menghitung-hitung perbedaan, melainkan lebih memilih untuk berpikir
menurut kesamaan-kesamaan.[6] Ibadat ekumene yang sudah
saya jalankan, merupakan panggilan kepada saya dan semua warga Gereja untuk
terus melihat kesamaan-kesamaan, memperjuangkan semangat persatuan antar-Gereja
di Maumere.[7]
* * *
CATATAN
[1] Gempa ini terjadi di Pidie Jaya,
Aceh, Rabu (7/12/2016) subuh. Gempa berkekuatan 6,5 Skala Ritcher dan
menewaskan 102 warga. 700 warga luka berat dan ringan, 3.276 warga lainnya
mengungsi. Bdk. berita berjudul “Gempa di Aceh, korban tewas meningkat hingga
102 orang” dalam http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38246454dan
“Guncangan gempa di Pidie Jaya 'terasa lebih keras' dari gempa besar 2004”
dalam http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38233073.Diakses
pada Senin, 1 Mei 2017.
[2]Sikap canggung yang paling kentara
ditunjukkan oleh kelompok umat Gereja Katolik. Tata cara peribadatan penuh
kegembiraan, nyanyian-nyanyian dan tari-tarian yang ditunjukkan penganut
GMIT dianggap sebagai sesuatu yang baru bagi mereka. Namun lama-kelamaan
sikap itu mulai mencair. Umat Katolik bisa keluar dari kebiasaan pola
peribadatannya yang tenang dan hening menuju pola peribadatan yang meriah.
[3]Hal ini juga ditegaskan Pater Lukas Jua
SVD dalam renungan yang dibawakannya saat Ibadat Ekumene. Pater Lukas mendorong
umat agar berani ke luar dari lingkungannya, masuk ke konteks budaya lain dan
mempelajari agama dan kebudayaan mereka. Hal ini dimaksudkan agar para pengikut
agama bisa saling mengenal dengan baik sehingga persatuan yang dilandasi kasih
bisa tercipta. Bdk. http://www.seminariledalero.org,
frater-ledalero-ikuti-ibadat-ekumene. Diakses 1 Mei 2017.
[4] Jeky Latuperisia, “Gereja Masehi
Injili di Timor (GMIT) dalam Gerakan Oikoumene”, dalam Jurnal Berbagi,
Vol 2. No 1. (Januari 2013), hlm. 112.
[5] Menurut koordinator kegiatan
Pater Hendrik Maku SVD, kegiatan ini pertama-tam tidak dilihat dari aspek
seberapa banyak sumbangan yang dikumpulkan, melainkan sejauh mana rasa
solidaritas umat Kristen dalam membantu sesamanya yang beragama lain di
Indonesia. Bdk. http.//www.seminariledalero.org/
frater-ledalero-serahkan-sumbangan-bagi-korban-gempa-Aceh. Diakses
pada Senin, 1 Mei 2017.
[6] Bdk. Georg
Kirchberger, Gerakan Ekumene, Suatu Panduan, (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 351.
[7] Harapan yang sama juga dikemukakan Pendeta
Emiliana Leny dari GPPS Jemaat Kristus Jawaban Cabang Geliting. Pendeta Emiliana
berharap agar semua umat senantiasa setia memelihara persaudaraan dan
menguatkan sikap saling menghormati. Umat diharapkan bisa saling
mengenal dan saling menghargai satu sama lain. Umat mesti berusaha
agar senantiasa berada dan berjalan dalam tuntunan kasih
Tuhan Yesus. Bdk. http://www.seminariledalero.org/frater-ledalero-ikuti-ibadat-ekumene.
Diakses pada Senin, 1 Mei 2017.
DAFTAR RUJUKAN
Kirchberger,
George. Gerakan Ekumene, Suatu Panduan. Maumere: Penerbit Ledalero,
2010.
Latuperisia,
Jeky. “Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dalam Gerakan Oikoumene”, Jurnal
Berbagi, Vol 2. No 1. (Januari 2013).
http://www.seminariledalero.org/frater-ledalero-ikuti-ibadat-ekumene,
diakses pada Senin, 1 Mei 2017.
http://www.seminariledalero.org/frater-ledalero-serahkan-sumbanga-bagi-korban-gempa-aceh,diakses pada Senin, 1 Mei
2017.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38246454,diakses
pada Senin 1 Mei 2017.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38233073,diakses
pada Senin 1 Mei 2017.
Komentar
Posting Komentar