Hatiku
benar-benar risau malam ini. Pembicaraan teleponku dengan Om Yan sore tadi
membuat batinku gelisah. Om Yan adalah kerabat sekaligus tetangga rumahku di Flores,
ribuan kilometer jauhnya dari Surabaya, kota tempatku bekerja saat ini. Kata
dia, ibuku sedang sakit.
“Ibumu
sakit parah Nak, ia susah tidur. Badannya lemah. Ia terlihat pucat dan sering
mengigau menyebut namamu.”
“Sudah
ke dokter Om?” tanyaku.
“Belum.
Lagi pula dokter dari mana Nak? Tidak ada dokter yang mau mengabdi di tempat
terpencil seperti kita ini. Sebenarnya ada, tapi dokternya tinggal di kota
kabupaten. Datang ke sini hanya pada akhir bulan, mengambil laporan dari
stafnya. Setelah itu kembali ke kota. Mana dia peduli dengan orang-orang desa.”
Ah,
aku menarik napas panjang. Persoalan orang-orang kampung di Flores selalu tak
terselesaikan. Dokter-dokter yang ditempatkan di sana tak pernah betah
mengabdi. Ketiadaan listrik, akses jalan yang buruk, serta parahnya jaringan telekomunikasi menjadi sederet alasan mengapa mereka
enggan tinggal di kampung.
“Om Yan tolong urus ibu dululah. Pekerjaanku
masih banyak. Liburan Natal baru aku ke kampung.”
“Aduh
Nak, tidak bisa. Segeralah pulang, ada yang gawat dengan kondisi ibumu.”
“Gawat
kenapa Om?”
“Ibumu
terserang suanggi, angin jahat. Itu, yang kalian orang-orang kota biasa sebut santet.
Ini bukan sakit biasa-biasa. Sebelum terjadi hal yang lebih buruk segeralah
pulang. Jaga ibumu.”
“Hahaha,
suanggi? Mana ada suanggi zaman ini Om. Dunia sudah berubah, suanggi-suanggi
tidak ada lagi,” kataku sekenanya.
“Huss,
jangan bilang begitu. Nanti suangginya marah.”
“Lha,
kalau suangginya marah, kenapa?” sambarku.
“Bisa
berakibat fatal, Nak. Ah sudahlah, pokoknya Om perlu tahu kapan kamu pulang?”
“Adakah
tanda-tanda ibu diserang suanggi Om?” aku coba mengalihkan pembicaraan.
“Pinggang
ibumu retak. Dia tidak bisa berdiri atau duduk terlalu lama.”
“Retak?
Memangnya ibu pernah jatuh?”
“Tidak
pernah. Ibumu tidak pernah jatuh.”
“Coba
ditanya lagi Om. Ibu ‘kan biasa menyembunyikan sakitnya. Bisa jadi dia terjatuh
saat menimba air di kali. Atau terkilir saat memetik kopi di kebun.
Macam-macamlah.”
“Ah
anak muda, anak muda. Ibumu itu diserang suanggi. Tanpa sebab yang pasti ia
tiba-tiba sakit. Kata ibumu, tiap kali bangun pagi pinggangnya seperti
dipenggal orang,” suara Om Yan meninggi.
“Kalau
begitu ajak ibu ke rumah paroki. Toh,
Bapa Pater atau Mama-mama Suster bisa mendoakan ibu. Mengusir jauh-jauh suanggi
yang menyerang tubuh ibu,” aku memberi usul dengan hati-hati.
“Nanti
sajalah, saat kamu sudah tiba di sini.”
Tut
tut tut. Pembicaraan kami terputus. Entah karena baterai selulernya melemah ataukah
Om Yan tak mau lama-lama berdebat denganku.
Pinggang
retak. Penyakit jenis apa lagi nih, renungku.
Aku mencoba mengingat-ingat riwayat sakit ibu, tak pernah sekalipun dia
berurusan dengan pinggang.
Dulu,
waktu aku masih Sekolah Dasar, ibu pernah masuk rumah sakit di ibukota
kabupaten karena gangguan kesehatan yang cukup parah. Lebih dari seminggu ibu
dirawat di sana. Kulit ibu yang aslinya
putih berubah menjadi kuning.
Tetangga
dan keluargaku bilang ibu terkena penyakit kuning. Tanda-tandanya ya itu tadi, kulit
ibu yang menguning. Ada juga yang menduga-duga bahwa ibu hamil lagi. Dugaan ini
yang membuat ibu malu untuk pulang ke kampung. Ibu maunya terus tinggal di rumah
sakit. Berdiam diri dan bicara seperlunya saja. Termasuk dengan ayah,
saudara-saudaraku dan juga aku.
Ternyata,
setelah dibuat pemeriksaan lengkap, ibu divonis mendapat gangguan lambung.
Kandungan asam pada lambung ibu dianggap berlebihan. Dokter menganjurkan supaya
ibu menjaga pola makan dan pantang beberapa jenis makanan.
Kabar
tersebut membuat ibuku bahagia luar biasa. Biar sakit, katanya, yang penting
jangan hamil. Malu sama orang-orang. Sudah tua masa hamil lagi. Kata ibu, aku
juga harus senang, karna aku akan tetap menjadi anak bungsu. Anak kesayangan
ibu.
Punya adik juga sebenarnya tidak masalah
Bu. Biar ada yang bantu mengumpulkan kerikil saat aku mengkatapel burung di
sawah. Kataku, tentu saja dalam hati. Takut diomeli ibu.
Bila
saat ini ibu sakit, aku tidak bisa lagi menitipnya pada siapa-siapa. Ayahku
sudah berpulang tiga tahun yang lalu, meninggalkan ibu, aku dan kedua kakakku. Aku
juga tak bisa berharap banyak kepada kakak- kakakku.
Pilihan
hidup kedua kakakku sebagai misionaris membuat konsep mereka tentang arti
keluarga menjadi sangat luas. Tak terbatas pada ayah, ibu, aku atau diri mereka
sendiri. Bagi mereka, keluarga adalah seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
Sesama
manusia, hewan, tumbuhan dan seisi alam semesta adalah satu keluarga. Keluarga mahaluas, sindirku ketika lelah
mengurus ibu seorang diri. Tapi itu tadi, sebatas mengeluh dalam hati. Segan.
Kakakku
yang pertama berkarya sebagai pastor misionaris pada sebuah paroki di Portugal.
Sekali dalam tiga tahun ia berlibur di rumah ibu. Tak pernah membawa oleh-oleh lain
kecuali rosario. Rosario dari Fatima, katanya. Selalu begitu, sudah bertahun-tahun.
Kakakku
yang kedua tak jauh berbeda. Ia sebetulnya sudah bekerja sebagai bidan desa,
tetapi kemudian memutuskan untuk masuk biara dan menjadi suster. Pemimpin biara
pun mengutusnya menjadi misionaris ke pedalaman Papua. Seperti si sulung, tiap
kali berlibur ke rumah ibu, ia tak membawa apa-apa. Malahan sebaliknya, ia
mengumpulkan pakaian bekas milik ibu dan sepupu-sepupunya untuk dibawa ke
Papua.
Meskipun
demikian, kedua kakakku senantiasa menjadi kebanggaan warga sekampung. Bagi orang-orang
di kampung, panggilan hidup menjadi misionaris merupakan rahmat istimewa dari
Tuhan. Apalagi jika panggilan itu terjadi dalam satu keluarga yang sama. Tentu rahmatnya
lebih berlipat-ganda.
Awalnya
aku kesal juga. Toh panggilan hidup kedua
kakakku tak membawa keuntungan apa-apa bagi ayah, ibu dan aku. Namun kemudian
aku pelan-pelan mengerti, rahmat tak mesti berhubungan dengan harta benda. Rahmat
lebih berurusan dengan rasa damai yang memenuhi hati. Hati kedua kakakku, hati
ayah dan ibu, hati warga sekampung.
Pengertian
yang sama ini jugalah yang membuat gelisahku berganti rindu pada ibu. Sedamai
apapun hati ibu, ia pasti merindukan kebersamaan denganku. Barang dua atau tiga
hari. Pinggang retak mungkin hanyalah cara ibu untuk membujukku pulang dan
berbagi cerita dengannya.
Om, lusa aku pulang. Sampaikan salamku
pada ibu. Kukirim pesan singkat ke ponsel Om Yan. Tak ada balasan. Belasan menit setelahnya, aku
tergerak memeriksa laporan pengiriman pesan. Tunda. Ah, Flores.
*
* *
“Ibumu
menanti sejak tadi pagi. Tak pernah beranjak dari balik jendela. Mungkin dia merasa
kelelahan, makanya sekarang tidur nyenyak.” Tante Maria, istri Om Yan, memberitahuku
sesaat setelah aku tiba di rumah ibu.
“Mau
tante bangunkan ibu?” aku menggelengkan kepala. Om Yan juga menggeleng lemah.
Pelan-pelan
aku bangkit dan masuk ke kamar ibu. Seisi kamar tampak masih seperti yang dulu
ketika ayah belum meninggal. Satu-satunya yang baru hanyalah lukisan Kerahiman
Ilahi di dekat lemari pakaian ibu. Jezu
Ufam Tobie. Yesus, Engkaulah Andalanku. Tertulis pada lukisan itu.
“Sudah
dari tadi, Nggoak?” ibu mengagetkan aku dengan menyebut nama masa kecilku.
“Ibu....” aku menghambur ke pelukan ibu. Hangatnya masih sama seperti yang
dulu.
“Ibu
pura-pura tertidur ya,” godaku sambil mengecup kening ibu. Ada kerutan di sana.
“Sebenarnya
tidak juga. Tadi ibu tidur nyenyak. Tapi aroma balsem pada rambutmu itu yang
membuat ibu terjaga.” Ibu mengacak-acak rambutku. Kami pun tertawa bersama.
Rupanya
ibu masih ingat pengalaman konyol di masa kecilku. Ketika itu, di kampungku
sedang diadakan pesta pernikahan dari salah seorang warga kampung. Bocah-bocah
di kampung pun sibuk mempersiapkan diri, termasuk juga aku.
Sebelum
tiba di tempat pesta, seorang temanku yang bernama Hans, menggiring kami ke
semak-semak dan menawarkan cream yang
katanya minyak rambut jenis baru. Aku dan teman-temanku yang lain sempat tidak
percaya. Kok aromanya menyengat banget.
Namun
Hans ngotot membuat pembuktian. Ia mencolek cream
tersebut dan mengusapnya ke seluruh rambut di kepalanya. Tak ada reaksi. Tapi
kami belum yakin juga. Hans mencolek lagi, kali ini ia mengusapnya tepat pada
alis matanya. Menyengir.
Tanpa
membuang-buang waktu, jari-jari kecil kami pun berebutan mencolek balsem yang
dikira minyak itu. Alhasil, belum lama di tempat pesta, ingus kami meleleh.
Mata terasa perih, keringat dingin mengucur dari seluruh tubuh. Neraka.
Beberapa
saat kemudian, ibu menceritakan kondisi kesehatannya kepadaku. Cerita ibu tak
jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Om Yan lewat telepon. Ibu rupanya
cukup yakin bahwa ia benar-benar diserang suanggi.
Aku
memperhatikan kondisi ibu. Semuanya tampak baik adanya. Minimal cukup baik
untuk wanita seusia ibu. Selain gangguan pinggang, tak ada tanda-tanda khusus
bahwa ia terkena gangguan suanggi.
“Ibu
harus mengganti selimut,” kataku sambil memperhatikan sebuah sobekan lebar pada
bagian tengah selimut lusuh yang dipakai ibu.
Ibuku
tertawa lemah. “Tidak usahlah Nggoak. Selimut ini masih terlalu bagus untuk
ibu. Lagi pula ini adalah kenangan ibu bersama ayahmu.”
“Tapi
selimutnya sudah sobek, Ibu.”
“Tak
apa-apa. Nanti ibu minta tantemu Maria untuk menjahitkannya buat ibu.”
“Jangan
ditunda-tunda, Ibu. Angin malam bisa masuk dan membuat pinggang Ibu semakin sakit.”
“Ibu
diserang suanggi, Jovan. Diserang angin jahat dari orang-orang yang ingin
mencelakai Ibu. Bukan karena angin malammu itu.” Kali ini ibu menyebut namaku
dengan tegas. Ia menarik selimut dan menyelubungi wajahnya. Aku tahu, ibu
marah.
***
“Ibumu
tak bisa dirayu begitu nak. Ia malu bila harus memakai barang-barang baru. Ia
takut dituduh mendapat barang dari kakak pater dan sustermu itu,” Tante Maria menasihatiku
saat aku telah keluar dari kamar ibu. Butuh waktu yang cukup lama untuk
menenangkan hati ibu.
Tante
pun berkisah bahwa ketika masih sehat, ibu biasa mengunjungi rumah paroki dan
berbagi cerita dengan Bapa Pater atau Mama-mama Suster di sana. Satu hal yang
selalu dikatakan ibu adalah bahwa dirinya ingin hidup sederhana seperti pater
dan para suster.
Aku
membuka dompetku dan menitipkan sejumlah uang kepada Tante Maria. “Tolong
belikan selimut yang cocok buat ibu,” kataku. Tante Maria menatapku
dalam-dalam. Aku tersenyum dan mengedipkan mata padanya.
***
Keesokan
harinya, ketika pagi menjelang siang, aku bergegas memasuki kamar ibu. Om Yan
dan Tante Maria berjalan mengikuti aku. Ibu baru saja bangun tidur.
“Ibu,
Kak Pater sedang menelepon. Ibu mau bicara?” Aku menekan tombol play pada handphone milikku. Rekaman
suara kakak saat memimpin ibadah keluarga di kampung setahun lalu langsung
terdengar.
“Aduh,
duh, duh, tidak usah. Ibu tak mau
kakakmu tahu kalau ibu sedang sakit,” ibu tergesa-gesa bangun dan membenahi
dirinya.
“Baiklah.
Tapi sudah terlambat.” Aku mematikan rekaman dan memasukkan handphone ke
kantung celanaku. Ibu mengangkat kepala.
“Kak
Pater dan Kak Suster sudah tahu. Bapa Pater dan Mama-mama Suster di rumah
paroki juga sudah tahu bahwa Ibu sedang sakit,” kataku sambil memandang Om Yan
dan Tante Maria. Keduanya mengangguk.
“Hmm....”
“Kak
Pater dan Kak Suster juga setuju bahwa Ibu diserang suanggi. Suanggi itu yang
membuat pinggang Ibu retak.”
“Hmm....”
“Dan
suanggi itu ternyata tinggal dalam selimut sobek yang dipakai Ibu ....”
“Hah,
kakakmu bilang begitu?” Ibu melempar selimut yang dipakainya ke lantai.
“Yes, benar. Lalu kakak
menyuruh aku ke rumah paroki dan membeli selimut pada Mama-mama Suster. Selimut
ini sangat sederhana. Sama persis dengan selimut yang dipakai Bapa Pater dan Mama-mama
Suster. Bahkan Tuan Uskup kalau berkunjung ke rumah paroki pakai selimut yang
begini juga,” kata-kataku meluncur tanpa ampun.
“Maka
sekarang, Ibu harus mengganti selimut.” Aku mengambil selimut yang tadinya
dipegang Tante Maria. Membuka dan membentangkannya di hadapan Ibu.
“Selimut
ini sudah diberkati Bapa Pater. Angin jahat para suanggi tidak akan mampu
menembusnya lagi. Ibu akan segera sembuh.”
Sejenak
ibu terdiam dan menatap selimut tersebut. Kami bertiga pun ikut terdiam dan
menunggu reaksi ibu. Terasa tegang dan canggung. Tiba-tiba tangis ibuku pecah. Ia
menyuruhku mendekat dan memelukku dengan erat.
“Terima
kasih anakku, terima kasih. Hatimu sungguh mulia. Engkau sudah banyak berkorban
demi ibu.”
Tanpa
sadar air mataku pun turun membasahi pipi. Bagi ibu, ini adalah tangis haru dan
pelukan terima kasih. Tapi bagiku, pelukan yang sama adalah tanda permohonan
maafku karena telah membohongi ibu.
“Yan,
buang jauh-jauh selimut sobek itu. Singkirkan dari hadapanku. Aku tak mau tidur
berselimutkan suanggi. Aku mau tidur berselimutkan berkat dari Tuhan,” suara
ibu terdengar penuh semangat.
* * *
Tepat
seminggu setelah kepulanganku dari kampung, Om Yan kembali meneleponku. Kata
dia, ibuku sudah sembuh, pinggangnya tak sakit lagi. Bahkan ibu sudah mampu
berjalan sendiri. Aku pun tersenyum.
“Lalu
sekarang ibu di mana?” tanyaku.
“Jalan-jalan
ke rumah paroki, bersama Maria. Katanya mau ucapkan terima kasih atas selimut Bapa
Pater dan Mama-mama Suster.”
“Apa?
Kenapa Om dan Tante biarkan ibu pergi?” aku setengah berteriak.
“Aduh
Nak, siapa yang berani melawan keinginan ibumu?”
Tut
tut tut. Kali ini aku yang mematikan telepon. Panik.
(* )
Ledalero, September 2017
Komentar
Posting Komentar