Uskup Agung Ende Mgr. Vincentius Sensi Potokota memberkati jenazah almarhum Pater John Dami Mukese SVD, sesaat sebelum diberangkatkan ke pemakaman, Jumat (27/10/2017). (Foto: Yovan). |
Kenangan
akan almarhum Pater John Dami Mukese SVD adalah kenangan tentang sepotong ikan
bakar; terbungkus segarnya daun pisang pada malam berkabut tipis di ujung
Desember 2015.
“Kraeng, mari ke Ruang Makan.” Demikian
pesan singkat Pater Dami masuk ke ponsel saya. Saya setengah melompat dari
tempat tidur di kamar 69 - lantai 2 Biara St. Yosef Ende. Waktu kira-kira pkl.
22.00 Wita; menuju larut malam.
Menuruni
tangga-tangga keramik yang dingin, saya lari bertelanjang kaki menuju Ruang
Makan. Lampu Ruang Makan bernyala terang, Pater sedang menunggu saya. “Pater
sudah pulang?” saya berbasa-basi.
Seperti
biasa, senyum Pater selalu lebih dulu merekah, 3 detik sebelum kata pertama
terujar. “Sepertinya sudah,” jawabnya sambil menekankan kata “sepertinya”. Saya
tersenyum sipu sambil memilin-milin ibu jari. Ah, Pater.
“Hanya
ini yang tersisa,” katanya sambil menyodorkan sebuah bungkusan kecil daun
pisang kepada saya. “Apa ini, Pater?” tanya saya. “Oleh-oleh. Langsung dimakan,”
jawabnya. Saya menerima bungkusan itu dan segera membukanya. Glek. Separuh bagian ikan bakar.
Pater
Dami bilang itu ikan sisa, tapi
tampaknya tidak. Ini sengaja di-sisih-kan.
Ikan bakar itu terpotong utuh dari kepala hingga ekor, begitu rapi. Setengah
potong irisan jeruk nipis dan segumpal sambal goreng tertata rapi di ujung
bungkusan.
Saya
tertegun. Hati saya bergemuruh mengharu. Inilah momen paling emosional
sepanjang hidup saya bersama Pater Dami. Beberapa kali dia mengapresiasi saya:
tentang puisi sederhana, coretan di Flores Pos, renungan, dll. tapi itu tak
pernah membuat haru. Ini kali pertama.
Jika
saja malam itu saya lebih berani, tidak terbendung rasa segan pada sosok Pater
Dami, saya ingin menyerbu dan memeluknya. Namun tidak. Batin saya terharu sedangkan
raga saya didesak untuk terus tertancap pada lantai tempat saya berpijak.
“Pater,
terima kasih banyak. Terima kasih.” Hanya kata-kata itu yang sanggup terucap
dari mulut saya. “Yah, you are welcome,”
ia tersenyum lalu berpamit pergi. Berjalan pelan dengan langkah yang berat.
Menghilang perlahan pada ujung gelap lorong biara.
Tiga jam sebelum itu, saya bertemu Pater Dami ketika ia sedang bersiap dengan
sepeda motornya. Ada keluarga yang mengundang makan, katanya. “Saya pesan
oleh-oleh, ya Pater,” kata saya. Tidak ada kesungguhan dalam bahasa saya. 100
persen basa-basi. Sebab bagaimana mungkin seorang Pater Dami, akan menyempatkan
waktu untuk mempertimbangkan hal remeh-temeh itu.
Pada
ranah akademis, Pater Dami adalah pemilik gelar Doktor (PhD) dalam bidang
Community Development. Ia adalah dosen dan pemberi seminar pada
sekurang-kurangnya tiga Universitas – Sekolah Tinggi ternama di Kota Ende:
Universitas Flores (Uniflor), STPM St. Ursula dan Stipar Ende.
Ia
menulis buku-buku: Puisi-Puisi Jelata (1991), Doa-Doa Rumah Kita (1996),
Sejenak di Beranda: Bercanda dengan Perumpamaan (2000), Kupanggil Namamu
Madonna (2005), Menjadi Manusia Kaya Makna (2006), Homiletik, Seni Berkotbah
Efektif (2010) dan Komunitas Basis Gerejawi (2014).
Bersama
beberapa rekan, Pater Dami berjasa mendirikan Harian Umum Flores Pos, Mingguan
DIAN, Mingguan RUMAH KITA dan majalah anak KUNANG-KUNANG. Ia pun mendapat
kepercayaan dari SVD untuk menjalani begitu banyak tugas khusus serikat.
Pater
Dami adalah imam SVD yang senantiasa memberi diri baik untuk urusan internal
Gereja maupun urusan-urusan sosial kemasyarakatan. Saya ingat, Pater Dami menjadi
salah satu tokoh penting yang turut mengarahkan peta perpolitikan Flores pada
akhir 1990-an.
Singkat
kata: Pater Dami adalah satu dari beberapa putra terbaik Flores. Dia hebat,
luar biasa hebat. Dia merupakan tokoh besar yang mengerjakan hal-hal besar
dengan cara yang luar biasa besar pula. Maka sangatlah mustahil bila ia
memenuhi permintaan “oleh-oleh” saya.
Namun
kenyataan malam itu sungguh mengagetkan. Di balik kebesarannya itu, Pater Dami
adalah sosok pencinta penuh empati; yang demi mengungkapkan cinta, perhatian
dan penghargaannya ia rela membaui tangan terurapnya dengan sepotong ikan
bakar.
Saya
sulit membayangkan, bagaimanakah cara seorang Pater Dami meminta ikan bakar itu
demi saya? Seberapa berhargakah saya di mata orang besar itu sehingga ia rela
merendahkan dirinya di hadapan keluarga yang mengundangnya?
Seberapa
hebohkah acara makan mereka setelah Pater Dami meminta menyisihkan menu makan
malam itu? Tidak malukah Pater Dami bila keluarga yang dikunjunginya itu membincangkan
tindakannya itu kepada orang lain?
***
Tanya
belum sempat terjawab ketika Kamis (26/10/2017) dinihari, Pater Dami dikabarkan
telah berpulang menghadap Bapa Allah. Ia mengembuskan napas terakhir di
BLUD-RSUD Ende, tepat pukul 02.15 Wita.
Saya
kembali tertegun; kali ini lebih lama dari ketertegunan saya yang dulu. Air
mata tak terbendung: mengenang Pater Dami, mengenang malam berkabut tipis di
ujung Desember 2015, mengenang ikan bakar itu.
Saya
membatin: ada banyak orang besar, setelah mengerjakan satu karya besar akan
terus membanjiri dunia dengan karya-karya besar lain dari dirinya. Mereka
enggan melakukan hal-hal kecil, pekerjaan remeh yang merendahkan martabat diri,
yang dianggap menodai karya dan nama besarnya.
Namun
Pater Dami adalah pribadi berbeda. Dia adalah orang besar, yang setelah
melakukan karya besar tetap rela mengerjakan hal-hal kecil. Ia adalah dosen
bergelar doktor yang tanpa segan mengisi tas bukunya dengan ikan bakar, jeruk
dan sambal.
Selamat
jalan Pater Dami, selamat berpulang ke Rumah Bapa Allah, tempat kita semua mengasali
hidup. Bila pada malam berkabut tipis di ujung Desember 2015 itu aku belum
sempat memeluk ragamu, izinkan aku sekali ini memeluk erat jiwamu dengan
doa-doaku.
Komentar
Posting Komentar