Langsung ke konten utama

[Feature] Air Mata Theresia


OLEH YOVAN RANTE
Perempuan bertubuh kurus itu mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika Tim JPIC Provinsi SVD Ende membuka kesempatan untuk berdialog. Suaranya melengking, penuh emosi. Belum selesai tiga kalimat, tangisnya pecah, air mata mengairi alur pipinya. Perempuan pemilik air mata itu adalah Theresia Legu, warga terkena dampak pembangunan Waduk Napun Gete, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT.
Serta-merta suasana yang sebelumnya gaduh beralih hening. Ratusan warga yang menghadiri dialog itu tunduk dan merenung. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tapi yang pasti tak ada satu suara pun berani menyanggah Theresia. Hati mereka diseduh, hangatnya menjalar ke seluruh diri. Percakapan sudah menyentuh inti persoalan, merambah sampai ke hati, tak ada lagi yang ditutup-tutupi.
“Saya adalah istri dari seorang petani sederhana dan ibu dari tiga orang anak. Kami hanya memiliki sebidang sawah, satu-satunya sumber nafkah hidup keluarga kami. Namun kini, areal sawah itu sudah terdaftar dalam wilayah pembangunan waduk. Apakah mungkin saya bisa mendapatkan sawah lagi? Sebab saya butuh sawah, saya tak perlu uang; tanah abadi, sedangkan uang cuma sekedipan mata,” kata Theresia sambil terisak.
   Lekas sesudah Misa Masa Biasa Pekan VI, Minggu (12/2/2017), Tim JPIC Provinsi SVD Ende mengadakan dialog bersama umat Kampung Enakter, salah satu kampung yang bakal terendam Waduk Napun Gete. Hadir dalam dialog tersebut Koordinator JPIC Pater Eman Embu SVD, Pater Otto Gusti Madung SVD, Pater Vande Raring SVD dan beberapa pengurus. Sedangkan dari pihak warga tampak hadir Pastor Kepala Paroki St. Perawan Maria Ratu Tanarawa Pater Ally Nggeal CP, Pastor Rekan Pater Paulus Menge CP dan ratusan warga Kampung Enakter.

Minim Informasi
Salah satu persoalan utama yang ditemukan dalam dialog tersebut adalah minimnya informasi yang dikantongi warga berkenaan dengan pembangunan Waduk Napun Gete. Entahlah, kenyataan ini terjadi karena warga kurang sanggup menyerap aneka informasi yang disampaikan melalui sosialisasi-sosialisasi, ataukah memang ada pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja membatasi informasi kepada warga.
Hal ini pertama-tama terlihat dari sulitnya warga mengingat secara rinci kronologis proses pembangunan Waduk Napun Gete, sejak awal pencetusannya sampai dengan saat ini. Warga, mayoritas adalah petani-petani sederhana, hanya sanggup menerka-nerka kapan sebuah pertemuan penting dilakukan, kapan keputusan-keputusan penting terkait keberlangsungan hidup mereka ditetapkan, berapa besar biaya ganti rugi terhadap lahan tanah dan fasilitas-fasilitas pribadi mereka, kapan biaya ganti rugi dibayar, dan masih banyak lagi.
Persoalan kedua adalah adanya perbedaan pendapat antara warga yang satu dengan warga lainnya berkaitan dengan satu dua hal penting. Berbicara tentang relokasi perkampungan, misalnya, kelompok warga yang pertama mengatakan bahwa mereka pernah duduk bersama lalu mendiskusikan wilayah tujuan relokasi. Sementara itu, kelompok warga lainnya mengatakan bahwa mereka hanya menerima daftar questioner dan mengisinya di rumah masing-masing, sehingga mereka tidak mengetahui tujuan relokasi mereka nantinya.
Persoalan lain yang jauh lebih runyam adalah tanggal jatuh tempo pembayaran biaya ganti rugi yang mendahului negosiasi harga tanah dan segala fasilitas milik warga. Dalam rumusan lain, negosiasi harga baru dilakukan kemudian hari setelah tanggal penetapan pembayaran diputuskan. Artinya, warga belum menetapkan harga lahan dan fasilitas lain milik mereka tetapi pemerintah sudah berani menetapkan tanggal pembayaran. Semacam membeli kucing dalam karung, tetapi dari sisi sebaliknya, kucing sudah duduk manis dalam gendongan pembeli sedangkan harga penjualannya belum disepakati, masih melayang-layang di langit biru. Misteri.
Markus Moa, warga Enakter, mengisahkan bahwa sekitar akhir November 2016 warga yang terkena dampak pembangunan Waduk Napun Gete pernah meminta agar pemerintah menyediakan waktu untuk bernegosiasi terkait biaya ganti rugi. Permintaan ini sebenarnya tergolong terlambat, sebab proyek sudah mulai dikerjakan beberapa waktu sebelumnya.
Sekalipun belum ada negosiasi biaya ganti rugi, Pemkab Sikka menggulirkan informasi bahwa pembayaran ganti rugi akan dilakukan secara bertahap. Pembayaran tahap pertama akan diberikan kepada 20 warga pemilik 24 hektare lahan di wilayah inti pembangunan waduk dan lokasi mendaratnya helikopter (helipad) yang kata Pemkab Sikka akan digunakan Presiden Jokowi pada Selasa (13/12/2016) lalu. Batas akhir pembayaran tahap pertama ini adalah Desember 2016.
Pembayaran ganti rugi tahap kedua, kata pihak Pemkab, akan diberikan kepada semua warga pemilik lahan yang berada di wilayah seluas 161,61 hektare wilayah waduk. Pemkab menjanjikan realisasi pembayaran ganti rugi tahap kedua ini akan diadakan paling lambat akhir Januari 2017.
“Waktu itu, Wabup Nong Susar mengatakan kepada kami bahwa negosasi harga akan segera dibuat sebab uang sudah tersedia. Realisasi ganti rugi untuk tahap pertama, kata Wabup Nong Susar, akan dilakukan paling lambat pada 31 Desember 2016, dana yang tersedia sebesar 4 Miliar,” kata Markus Moa.
Faktanya, negosiasi biaya ganti rugi (lebih tepat disebut pengumuman, sebab hampir 100 persen harga ditetapkan sepihak oleh pemerintah) baru dibuat pada Selasa (31/1/2017), bertempat di Kantor Desa Ilin Medo. Warga yang setuju dengan penetapan harga tersebut diminta segera membuka rekening bank – meski tanpa disertai uang muka. Sedangkan bagi kelompok warga yang belum sepakat, uang mereka akan dititipkan di Kantor Pengadilan Negeri Maumere.
Bagi Pater Otto Gusti, Tim JPIC SVD Ende, proses negosiasi dan penetapan biaya ganti rugi seperti dikisahkan warga ini tidak bisa diterima secara hukum. Sebab menurut dia, warga masyarakat berhak menetapkan harga atas harta milik mereka, dan pemerintah tidak bisa secara sewenang-wenang meloloskan program pembangunan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan warga masyarakat.
“Bagaimana mungkin realisasi pembayaran biaya ganti rugi tahap pertama akan dilakukan akhir Desember 2016, sedangkan negosiasi harga baru dibuat pada Januari 2017? Lalu bagaiman dana sebesar 4 Miliar yang dijanjikan Pemkab akan dikucurkan pada pembayaran tahap pertama, sedangkan perhitungan harga lahan belum dibuat? Kita sedang dibohongi,” katanya.     
Selain persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas, masih banyak persoalan lain lagi yang bersumber pada minimnya informasi yang diperoleh warga terkait Waduk Napun Gete. Hal-hal mendasar menyangkut hak-hak mereka sebagai pihak yang menanggung dampak proyek pembangunan waduk sebagian besar tidak mereka ketahui.  
Meskipun demikian, Pater Eman beserta Tim JPIC Provinsi Ende dengan penuh kesabaran dan ketelitian merangsang daya ingat masyarakat untuk mengurutkan satu per satu kronologi pembangunan Waduk Napun Gete. Warga bahu-membahu melengkapi potongan demi potongan informasi yang sempat mereka rekam dalam ingatan mereka. Beberapa warga sepuh mengungkapkannya dalam bahasa daerah, sedangkan yang lain menyampaikannya dalam bahasa Indonesia. Meski tertatih-tatih, informasi mulai tersusun.

Janji Manis
Lembar Aspirasi Forum Petani Napun Gete Terhadap Pembangunan Waduk Napun Gete setebal tujuh (7) halaman menerangkan secara jelas tuntutan warga terkena dampak pembangunan Waduk Napun Gete terhadap Pemerintah Kabupaten Sikka. Lembar kesepakatan bertanggal Jumat (29/4/2016) tersebut ditandatangani Ketua Forum Paulus Yansani, Sekretaris Forum Yohanis Jonson, Kepala Desa Ilin Medo Damianus Dole Gobang, Kepala Desa Werang Simon Sina, Camat Waiblama Patrisius Pederiko dan 16 wakil peserta forum.
Pada lembar kesepakatan tersebut, peserta forum memuat tiga model tuntutan yakni jangka pendek (11 poin), jangka menengah (5 poin) dan jangka panjang (9 poin). Tuntutan jangka pendek poin (2) mencatat “harga ganti rugi perlu didiskusikan dengan pengurus Forum Petani Napun Gete dan masyarakat pemilik lahan sebelum peletakan batu pertama Waduk Napun Gete”.
Namun, menurut keterangan yang disampaikan warga pada saat dialog, biaya ganti rugi tersebut baru dibahas pada Januari 2017, ketika alat-alat berat sudah mengeruk tanah subur Napun Gete. Nahasnya lagi, realisasi pembayaran ganti rugi tersebut belum juga terlaksana sampai pelaksanaan dialog bersama Tim JPIC Provinsi SVD Ende pada Minggu (12/2/2017).
Padahal dalam kesepakatan yang sama tertulis “Deklarasi pembangunan Waduk Napun Gete dapat dilaksanakan apabila beberapa permintaan pemilik lahan telah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Sikka”. Kesepakatan yang sama melanjutkan, “Apabila beberapa syarat atau permintaan dari pemilik lahan pembangunan Waduk Napun Gete belum dipenuhi Pemerintah, maka kami menyatakan sikap untuk ditunda pelaksanaan pembangunan Waduk Napun Gete”.
“Pemerintah Kabupaten datang berulang kali ke sini dan menyampaikan janji manis bahwa pembayaran biaya ganti rugi itu akan dilaksanakan secepatnya. Namun sampai dengan hari ini kami belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kami. Proyek sudah mulai dikerjakan, pemerintah belum membayar tanah dan pemukiman kami, proyek ini masih bersifat bon,” keluh Theresia Kleti, warga Enakter.
Nuho, warga sepuh Enakter, menanyakan kepada Pemkab Sikka tentang bagaimana nasib mereka selanjutnya jika hak-hak warga, khususnya soal biaya ganti rugi, belum juga dipenuhi. “Banyak warga kami yang hanya memiliki satu lahan untuk berkebun. Pemkab Sikka sudah mengambilnya untuk dijadikan waduk, sedangkan biaya ganti rugi belum dibayar, lantas mereka mau makan apa?”
Menurut warga, mereka sudah merelakan situs-situs budaya, tanah, kebun, rumah, kampung, fasilitas umum dan segala masa depan mereka demi menyukseskan program pembangunan waduk. Permintaan mereka hanyalah agar pemerintah memperhatikan dan memenuhi hak-hak mereka, khususnya biaya ganti rugi.
Terkait pembangunan Waduk Napun Gete, ada begitu banyak janji yang disampaikan Pemkab dan DPRD Sikka, terutama demi menjawabi tuntutan yang disampaikan warga. Tanpa bermaksud mengabaikan tuntutan lainnya, hal paling penting yang harus segera direalisasikan Pemkab Sikka – dan seharusnya diperjuangkan juga oleh DPRD Sikka – adalah menyerahkan biaya ganti rugi kepada warga terkena dampak pembangunan waduk.

Curigai Pemerintah
Pada prinsipnya, JPIC Provinsi SVD Ende mendukung program pemerintah dalam hal pembangunan dan upaya menyejahterahkan masyarakat. Namun yang perlu diperhatikan adalah, proses pembangunan tersebut tidak boleh melanggar hak asasi masyarakat dan tidak boleh  merusak alam lingkungan.
Pater Otto Gusti mengatakan, kehadiran Tim JPIC SVD Ende di Waduk Napun Gete sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalang-halangi atau menggagalkan proyek pembangunan yang sudah mulai berlangsung. Sebab menurut Pater Otto, keberadaan waduk tersebut membawa banyak manfaat positif bagi masyarakat terutama dalam hal ketersediaan air.
Kehadiran Tim JPIC SVD Ende, lanjut Pater Otto, adalah untuk berada bersama warga dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak yang semestinya diperoleh warga dari pemerintah. Janji-janji Pemkab dan DPRD Sikka, lanjut Pater Otto, perlu dikawal bersama agar tidak mengorbankan hak-hak warga masyarakat.
“Kita perlu mencurigai kekuasaan, jangan mudah percaya dengan pemerintah. Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang tidak dikontrol otomatis korup. Kita berjuang agar hak-hak kita tidak diabaikan begitu saja oleh para penguasa, agar harkat dan martabat kemanusiaan kita tidak diremehkan,” kata Pater Otto.
Meskipun demikian, kata Pater Otto, perjuangan warga terkena dampak pembangunan Waduk Napun Gete harus dilakukan dalam damai, tanpa aksi kekerasan. Selain itu, warga juga harus satu suara memperjuangkan hak bersama, bukan berjalan sendiri-sendiri demi memuaskan kepentingan diri sendiri.

Mata Kail
Bagi Rudi, tokoh muda Enakter, proses pembangunan Waduk Napun Gete dianalogikan sebagai mata kail. Pemerintah sudah melempar mata kail pembangunan dan warga sudah telanjur menelan umpan tersebut hingga mencapai kerongkongan. Mengandung maut bila terus ditelan, tetapi tak mudah juga untuk memuntahkannya lagi.
“Kami sudah salah dari awal, karena kami sangat mempercayai Pemerintah dan DPRD Sikka. Mereka datang ke sini dengan pendekatan adat dan kami pun menerima program pembangunan itu dengan penuh syukur. Kami kurang mengetahui apalagi menuntut proses yang benar dalam meloloskan rancangan pembangunan. Tahapan-tahapan pembangunan, yang sejatinya merupakan kesempatan memperjuangkan hak-hak kami, tidak pernah kami ketahui,” katanya.
Rudi bersama warga Napun Gete lainnya menyesalkan sikap Pemkab dan DPRD Sikka yang sampai dengan saat ini belum juga merealisasikan biaya ganti rugi yang menjadi hak warga. Sikap Pemkab dan DPRD Sikka dinilai memanfaatkan ketidaktahuan warga akan prosedur yang benar dan bisa jadi akan memanfaatkan ketidaktahuan warga tersebut untuk mendatangkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.  
Oleh karena itu, lanjut Rudy, hal yang diharapkan warga Napun Gete saat ini hanyalah kepekaan hati dan tanggung jawab moral Pemkab dan DPRD Sikka untuk memenuhi hak-hak dasar warga Napun Gete. Hak-hak dasar yang paling pertama harus dipenuhi oleh Pemkab Sikka adalah realisasi biaya ganti rugi lahan.
Dan seharusnya demikian, pemerintah adalah para petugas yang dipilih untuk mengurus kesejahteraan hidup masyarakat. Masyarakat membayar pajak untuk menggaji pemerintah, sebagai upah atas jasa mereka melayani rakyat. Oleh karena itu, sejatinya pemerintah adalah pelayan, bukan penguasa apalagi penjajah masyarakat.
Demikian pun dengan anggota DPRD. Mereka adalah wakil yang bertugas menyuarakan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Karena itu, kebijakan dan posisi mereka harus berpihak pada masyarakat, bukan kontra masyarakat (apalagi dengan memihak pemerintah). Jika anggota DPRD tidak berdiri bersama masyarakat, maka bisa dipastikan bahwa yang dia wakili bukanlah kepentingan masyarakat luas melainkan kepentingan pribadi dan golongannya.  

Perjuangan Belum Selesai
Meskipun warga sudah berada pada ambang pasrah, Pater Eman Embu SVD tetap meyakinkan mereka bahwa perjuangan belum selesai. Masih banyak pintu masuk yang bisa dipakai untuk menggugah hati dan kebijakan Pemkab dan DPRD Sikka terkait nasib warga Napun Gete.
“JPIC SVD Ende siap mendampingi warga Napun Gete dalam menuntut pemenuhan hak-hak ganti rugi lahan. Kami bersedia membantu siapa saja, tak terbatas suku, agama, ras atau golongan. Orang yang tak beragama pun wajib kita bantu, sebab kita membantu karena kita sama-sama manusia,” katanya.
Bersama dengan Pater Vande Raring SVD, Pater Ally Nggeal CP dan Pater Paulus Menge CP, Pater Eman dan Pater Otto berjanji akan terus mendalami masalah ini dan akan menyuarakannya kepada DPRD Kabupaten Sikka. Bila data-data sudah dikumpulkan, JPIC Provinsi SVD Ende siap mendampingi warga terkena dampak pembangunan waduk Napun Gete memperjuangkan hak-hak mereka kepada pemerintah dan DPRD Kabupaten Sikka.

Komitmen Tim JPIC Provinsi SVD Ende untuk mendampingi warga Napun Gete ini pun membangkitkan harapan baru dalam diri Theresia Legu dan para ibu lainnya. Ia mengusap air matanya sampai benar-benar kering. Kayakinannya untuk mendapatkan kembali hak-haknya membuat ia tersenyum lega. Perjuangan belum selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Di Rumah Bapa-Ku Banyak Tempat Tinggal” [Renungan Ibadat Kematian]

Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. (Yohanes 14:1-2a) Keluarga yang berduka, Bapak/Ibu/Sdr/I yang terkasih dalam Yesus ... Air mata akan selalu membasahi pipi, ketika kita mengenang almarhum Bpk. Silvanus Meng Ada. Tak ada yang sanggup membendung duka, tiada yang sanggup menahan derita. Namun air mata kita, hendaknya dimaknai sebagai duka atas kepergian, bukan duka atas kehilangan. Meninggalnya bapak hanyalah tanda kepergian, dan kita akan menyusulnya kelak. Bapak telah meninggalkan kita, meninggalkan rumah ini. Namun di masa mendatang, kita akan bersama-sama bapak lagi, di Rumah Bapa Allah. Bagi kita yang masih hidup, rumah pertama-tama dimaknai sebagai bangunan, tempat kita berdiam. Ada rumah beratap senk, rumah beratap genteng, rumah beratap bambu, rumah beratap alang-alang, rumah beratap rumbia. Ada rumah berdiding tembok, rumah berdinding papan, rumah berdinding pelupuh. Ada...

Materi Rekoleksi Orang Muda Katolik (OMK) - Renungan II

OMK Paroki St. Yohanes Pemandi Lengko Elar  (Foto: Facebook Fill Wulengsa) Tema: Meneladani Maria – Memberi Diri dan Melayani Tujuan : (1) Mendalami teks Lukas 1:26-38; (2) Menemukan keutamaan-keutamaan dalam diri Perawan Maria; (3) Menerapkan teladan Maria dalam kehidupan sehari-hari. Inspirasi : Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Anak Muda Sedunia XXXIV, Panama, Januari 2019 dan Injil Lukas 1:26-38. PENGHUBUNG: Ada sebuah kesamaan yang menghubungkan Maria (saat ia mendapat kabar gembira) dengan kaum muda yaitu sama-sama orang muda. Ketika pertama kali mendapat panggilan Allah, Maria diperkirakan masih berusia 16 tahun. Dalam OMK, Maria tergolong kelompok taruna. JAWABAN MARIA: Saat mendapat kabar dari malaikat Gabriel, Maria dengan yakin menjawab: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba TUHAN; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( ay. 38). Jawaban Maria adalah sebuah “YA” yang berani dan murah hati. Sebuah jawaban YA dari seseorang anak muda yang telah memahami ra...

Susunan Ibadat Tanpa Imam Untuk Hari Minggu Palma (A/1)

A.       PEMBUKAAN DAN PERARAKAN 1.         Nyanyian Pembuka (Untuk membuka ibadat, mempersatukan umat, menyambut tema ibadat,   mengiring masuknya petugas liturgy. Hendaknya dinyayikan bersama). 2.         Tanda Salib Pemandu/Pengantar (P) dari tempat duduknya menandai diri dengan tanda salib; demikian juga umat, sambil berkata: P : Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. U : Amin. 3.         Salam Pembuka Pemandu/Pengantar (P) mengucapkan salam berikut dengan tangan tertutup: P :   Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus selalu bersamamu . U : Dan bersama rohmu. 4.         Kata Pembuka/Tema/Pengantar P :    Saudara-saudari terkas...