OLEH YOVAN RANTE
Hujan
malam ini tak lagi seromantis dulu, tak ada pelukan, tak ada kecupan hangat di
kening. Hati kita semakin merenggang, menanggung dingin ini sendiri-sendiri.
Dulu,
di bawah hujan, selalu aku ciptakan sepenggal lirik puisi untukmu. Membuat
senyum manis rekah pada bibirmu, persis 3.5 centimeter di bawah sinar sayu bundar
matamu.
Lantas
sesudahnya, buku-buku kita berserakan, ilmu-ilmunya berhamburan ke segala
tempat. Namun, tak satu pun kata menjangkau kepala kita. Sebab kita lebih
memilih berpelukan dekat jendela, memandang hujan hingga lewat tengah malam.
Kita
pun sama-sama menyusun mimpi, tentang hujan deras pada suatu malam di masa
depan. Atap rumah yang kokoh, dinding kayu tanpa jejak lintah, dan selimut
renda-renda yang menjuntai hingga ujung telapak kaki kita.
Pada
malam di masa depan itu, kita akan lebih cepat menuju pembaringan, lekas
sesudah menyantap kuah ikan kegemaran kita. Pertama-tama untuk meninabobokan putra
putri kita. Urutan berikutnya, meninabobokan satu sama lain di antara kita.
Haeeeh.
Namun,
hujan malam ini tak lagi seromantis dulu, tak ada pelukan, tak ada kecupan
hangat di kening. Bahkan sebenarnya, hujan malam ini tak seperti malam yang
pernah kita impikan.
Putra
putri kita sudah lama terlelap, tubuh mereka menggigil berebutan sarung-sarung
kumal. Bukan karena kantuk, bukan pula karena ingin bermimpi, tetapi karena terlampau
lelah menahan lapar.
Tiris
hujan satu demi satu merembes masuk lewati celah pada atap rumah kita. Mangkuk-mangkuk putih tak cukup lagi menampung
setiap rintiknya. Angin dari pegunungan mengayun-ayun pintu, membantingnya ke
sana, membantingnya ke sini.
Bara
api pada tungku batu di dapur kita telah lama padam. Hangatnya telah sirna, yang tersisa hanyalah asap kelabu, mengisi
setiap ruang pada hati kita. Lentera di dinding kamar pun mulai pudar cahaya,
minyak tak sanggup lagi basahi ujung sumbunya.
Kemudian,
dua tiga butir air menetes dari kelopak mata kita. Sedangkan kita masih saling memandang,
tanpa gairah meninabobokan satu sama lain, seperti mimpi-mimpi kita dulu.
Meski
tanpa kata, bundar mata kita sebenarnya sedang membincangkan penyesalan.
Tentang buku-buku berserakan yang tak pernah kita baca isinya, tentang waktu
yang terbuang hanya demi menulis puisi-puisi cinta, tentang perkawinan kita pada usia yang masih terlalu belia.
Hujan
di luar jendela semakin deras, tetapi kita belum juga beranjak ke pembaringan.
Hati kita rupanya sedang sama-sama berdoa: semoga tak ada lagi pasangan remaja
yang mengikuti jejak gegabah kita.
(Paviliun Aloysius, 31.01.2017.
Peringatan St. Yohanes Don Bosco, Bapa dan Pendidik Kaum Muda)
Komentar
Posting Komentar