Langsung ke konten utama

[Refleksi] Pantai Koka dan Tagihan Angker

OLEH YOVAN RANTE

Orang bilang, kalau hatimu sedang susah dan pikiranmu kacau, pergilah bertamasya ke pantai. Ombak dan karang akan pecahkan perkaramu, elang-elang laut merampas pergi segala masalahmu.
Unggas-unggas liar menggantung dukamu pada tebing terjal di ujung laut, tiada terjangkau. Seiring musim berganti, gundah hatimu pun turut layu di sana, bersama perdu-perdu berduri.
Aku kenal sebuah pantai berpasir putih, dengan embusan angin yang manjakan tubuh. Bila engkau lupa minum kopi, tubuhmu kan segera terkulai ke pasir, bersarungkan angin, sesaat setelah kau pijakkan kaki di pantai itu. 
Yang kumaksudkan adalah Koka, sebuah pantai dengan liukkan ujung arus yang indah gemulai. Ombaknya menarikan Gawi, meresap alunan Nggo Lamba, dentang lonceng dan lantunan adzan subuh dari kampung di pesisir jauh.
Ketika  engkau di Pantai Koka, separuh jiwamu telah memijak surga, memeluk Tuhan.
Dulu, penduduk sekitar menganggap Koka pantai yang angker, ada penunggunya. Itulah sebabnya saat berkunjung ke sana, engkau tak boleh ribut, engkau perlu hening demi menghargai penunggu pantai, demi menjaga keseimbangan alam.
Di Pantai Koka kan kau temukan sebuah makam terpahat di kaki bukit. Bila air surut, engkau juga akan melihat batu menyembul dari laut, watu jara – batu kuda. Jangan sekali-sekali  kau lakukan hal-hal aneh di sekitar benda-benda keramat ini, pamali.
Seiring meningginya mentari, zaman yang terus berubah, Koka yang angker perlahan meramah. Tim promosi pantai itu pun berujar: kau boleh berkunjung kapan pun kau mau, melumuri tubuh telanjangmu dengan pasir putih, berdiri di atas karang dan membasuh wajah penatmu dengan airnya yang sejuk.
Pantai Koka telah menjadi ibu nan lembut, penyembuh segala luka. Ia tak lagi angker, kau tak perlu takut padanya, bermainlah bersamanya.
Namun olala, ternyata kisah keangkeran Pantai Koka terus berlanjut hingga saya dan para sahabat mengunjungi tempat itu pada Minggu (23/10/2016) kemarin. Bukan pada mitos makam keramat dan watu jara, bukan pada ombaknya yang tinggi-tinggi atau sinar mataharinya yang menyengat kulit, tetapi pada manusia-manusia berotak keramat yang menagih uang pengunjung  dengan sesuka hati.
Bayangkan, saat engkau melintasi jalan masuk Pantai Koka, sebatang bambu bulat akan mengadang tepat di depan hidungmu, tak peduli seberapa pesek atau mancungnya engkau. Engkau hanya boleh lewat jika sudah menebus karcis masuk Rp5.000,00 untuk kendaraan roda dua dan Rp10.000,00 untuk roda empat.
Ada yang aneh dengan karcis masuk dengan judul OWPK – Objek Wisata Pantai Koka ini.  Saya hampir saja meminggirkan sepeda motor dan tertawa terbahak-bahak saat membaca keterangan pada karcis tersebut: PEMILIK LAHAN SEPANJANG JALAN PANTAI KOKA.
Apakah setiap warga masyarakat (baca: pemilik lahan) boleh mengeluarkan karcis sesuka hati? Di mana Pemerintah Kabupaten Sikka, khususnya Dinas Pariwisata, yang selalu mempromosikan Pantai Koka sebagai salah satu aset daerah?
Tidak bisakah pemerintah mengambil alih peran itu? Bukankah pemerintah yang paling berhak menarik retribusi terhadap fasilitas-fasilitas publik?
Sahabat seperjalanan saya menepuk pundak saya. Jalan terus, jangan menertawakan karcis yang angker ini. Bisa-bisa kita kena celaka.
Saya pun meneruskan perjalanan, tak berani protes atau menoleh ke belakang. Sebab jangan-jangan penjual karcis mengutuk saya menjadi tiang garam. Sambil menarik gas sepeda motor, saya teringat akan istri Lot.
Setelah melewati penjual karcis, engkau akan melintasi jalanan eneh menuju pantai. Aneh sebab sebagian besar jalan telah di-hotmix, tetapi ada dua bagian, masing-masing berjarak sekira 10 meter, masih berupa jalan jelek berbatu.
Menurut beberapa warga, dua lokasi tersebut belum mendapat izin pembebasan lahan dari pemilik tanah. Akh, saya teringat kali pertama ke Pantai Koka pada 2013, kondisi jalannya sudah seperti itu. Belum selesai-selesai juga?
Kekecewaan terhadap kondisi jalan akan sedikit terobati ketika dari tempat ini engkau sudah menghirup aroma laut. Debur ombak yang mengempas karang membanting pecah gumpal ngilu dalam batinmu.
Namun jangan bahagia dulu, sebab selanjutnya engkau akan dikagetkan lagi dengan tagihan lain berupa retribusi parkir kendaraan yang disodorkan beberapa manusia aneh di situ. Mereka tidak memegang karcis, hanya meminta uang dan menunjukkan ID Card kumal yang mereka dapat entah dari mana. Tidak tanggung-tanggung, Rp5.000,00 untuk kendaraan roda dua dan Rp20.000,00 untuk roda empat.
Jangan coba-coba engkau bantah permintaan mereka. Berpuluh pasang mata yang tertempel pada wajah-wajah angker akan jadi ancaman serius bagimu.
Belum lagi kalau engkau berniat mendaki bukit di salah satu ujung pantai, engkau mesti menguras isi kantongmu sejumlah Rp5.000,00 lagi. Begitu juga kalau engkau menggunakan bale-bale yang berjejer di sepanjang pantai, Rp15.000,00 akan ditagih dari padamu.
Miris, segalanya bertindak sendiri-sendiri, suka-suka. Penjaga gerbang, penjaga parkiran, pemilik bale-bale dan penjaga bukit masing-masing menarik retribusi seolah mereka bukan satu paketan objek wisata. Angker.
Karena itu, kalau hatimu sedang susah dan pikiranmu kacau, pergilah bertamasya ke pantai, tapi bukan Pantai Koka.
Pantai Koka tak pernah salah. Ombak, karang, elang laut, pasir putih, angin sejuk dan watu jara juga tak angker lagi. Mereka siap memelukmu.
Hal yang salah adalah manusia-manusia berotak keramat yang menagih ini dan itu sekehendak hati.
Sebelum Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka memandang tagihan angker ini sebagai hal serius, pikir-pikirlah dulu sebelum ke Pantai Koka.
Sebab jika tidak, elang-elang laut akan menenteng pulang duka yang telah tergantung lama pada tebing terjal di ujung laut dan menempatkannya kembali dalam hatimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Di Rumah Bapa-Ku Banyak Tempat Tinggal” [Renungan Ibadat Kematian]

Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. (Yohanes 14:1-2a) Keluarga yang berduka, Bapak/Ibu/Sdr/I yang terkasih dalam Yesus ... Air mata akan selalu membasahi pipi, ketika kita mengenang almarhum Bpk. Silvanus Meng Ada. Tak ada yang sanggup membendung duka, tiada yang sanggup menahan derita. Namun air mata kita, hendaknya dimaknai sebagai duka atas kepergian, bukan duka atas kehilangan. Meninggalnya bapak hanyalah tanda kepergian, dan kita akan menyusulnya kelak. Bapak telah meninggalkan kita, meninggalkan rumah ini. Namun di masa mendatang, kita akan bersama-sama bapak lagi, di Rumah Bapa Allah. Bagi kita yang masih hidup, rumah pertama-tama dimaknai sebagai bangunan, tempat kita berdiam. Ada rumah beratap senk, rumah beratap genteng, rumah beratap bambu, rumah beratap alang-alang, rumah beratap rumbia. Ada rumah berdiding tembok, rumah berdinding papan, rumah berdinding pelupuh. Ada...

Materi Rekoleksi Orang Muda Katolik (OMK) - Renungan II

OMK Paroki St. Yohanes Pemandi Lengko Elar  (Foto: Facebook Fill Wulengsa) Tema: Meneladani Maria – Memberi Diri dan Melayani Tujuan : (1) Mendalami teks Lukas 1:26-38; (2) Menemukan keutamaan-keutamaan dalam diri Perawan Maria; (3) Menerapkan teladan Maria dalam kehidupan sehari-hari. Inspirasi : Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Anak Muda Sedunia XXXIV, Panama, Januari 2019 dan Injil Lukas 1:26-38. PENGHUBUNG: Ada sebuah kesamaan yang menghubungkan Maria (saat ia mendapat kabar gembira) dengan kaum muda yaitu sama-sama orang muda. Ketika pertama kali mendapat panggilan Allah, Maria diperkirakan masih berusia 16 tahun. Dalam OMK, Maria tergolong kelompok taruna. JAWABAN MARIA: Saat mendapat kabar dari malaikat Gabriel, Maria dengan yakin menjawab: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba TUHAN; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( ay. 38). Jawaban Maria adalah sebuah “YA” yang berani dan murah hati. Sebuah jawaban YA dari seseorang anak muda yang telah memahami ra...

Susunan Ibadat Tanpa Imam Untuk Hari Minggu Palma (A/1)

A.       PEMBUKAAN DAN PERARAKAN 1.         Nyanyian Pembuka (Untuk membuka ibadat, mempersatukan umat, menyambut tema ibadat,   mengiring masuknya petugas liturgy. Hendaknya dinyayikan bersama). 2.         Tanda Salib Pemandu/Pengantar (P) dari tempat duduknya menandai diri dengan tanda salib; demikian juga umat, sambil berkata: P : Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. U : Amin. 3.         Salam Pembuka Pemandu/Pengantar (P) mengucapkan salam berikut dengan tangan tertutup: P :   Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus selalu bersamamu . U : Dan bersama rohmu. 4.         Kata Pembuka/Tema/Pengantar P :    Saudara-saudari terkas...