Ilustrasi |
Orang
bilang dia gagak.
Ia malam
berkabut. Kelam. Dan orang sekampung memanggilnya Ngkula. Hitam. Ia sebenarnya
punya nama: Viktorius, dipanggil Viktor, itu saja, tanpa embel-embel
nama ayah pun nama marga, sebab tak seorang lelaki pun mengakuinya sebagai
anak, atau sebatas menjadikannya anggota marga, sebab ia haram. Ia aib. Ia
kenistaan. Ibunya meninggal ketika ia masih menetek, ketika gerak mungilnya
belum beraturan, terbatas pada refleks: mengisap, mencari, moro, dan
menggenggam. Kala ia butuhkan tangan yang menuntun, lengan yang memeluk.
Baginya
hidup adalah sebuah ritual kegelisahan. Ia adalah kegoyahan, jiwa kesasar yang
mencari kepastian. Tak ada wasiat, pun kalau ada toh ia belum
sepenuhnya mengerti. Ia kepolosan. Embun pada pucuk-pucuk akasia. Satu-satunya
hal yang dibisikkan sang ibu adalah sebuah rahasia. Kau adalah garuda,
sebab ayahmu adalah pembela garuda.
Rahasia
itu mendesis tiga kali. Kesempurnaan. Pada kuping kiri, kanan dan pada
ubun-ubun rapuhnya. Dan ketika sang ibu berbisik di ubun-ubunnya, dirasakannya
cakaran lembut pada kulit kepalanya. Cakar garuda. Ia meringis, lalu tersenyum
garang. Roh sang ibu membakarnya. Ia adalah garuda. Ia sungguh
yakin. Pun kini, ketika orang bilang ia gagak.
“Viktor,
apa yang kau gambar?” tanya nenek Lena, wanita tua yang telah membesarkannya.
“Garuda....”
Itu saja. Datar. Terus seperti itu.
Usianya
sudah 17 tahun, namun pikirannya masih asing untuk mengenal bacaan dan tulisan.
Tinta dan kertas adalah kepalsuan. Omong kosong. Penghinaan dan
keterbelengguan. Kecerdasannya sebatas arang dapur. Hitam. Ekspresi jiwanya
yang kelam. Ia terobsesi pada gambar. Ia menggambar dan terus menggambar,
menggambar sampai entah. Dan satu-satunya hal yang bisa digambarnya ialah
burung garuda, dengan mata yang selalu menatap ke kiri. Ke kiri?
Ia
menggambar garuda, terus-menerus, hingga jumlah tak terukur angka. Ia
menggambar pada segala. Pada lidi kecil, garudanya juga kecil-kecil,
sendiri-sendiri dan dibakar sunyi. Ia menggambar pada biji asam, garuda dengan
paruh goyah, mata melarat. Ia menggambar pada batu, pada daun kering yang
beterbangan, pada dinding, pada atap, pada pohon, pada tiang bendera, pada
segala. Selalu garuda, selalu ke kiri, selalu dengan arang. Orang-orang
sekampung menawarkan pena dan kertas, namun tangannya gemetar, mata
berkunang, otak mendidih menghanguskan tubuh, menggelepar, meraung dan kembali
pada arang.
***
Sudah dua
hari Viktor mengembara dari rumah ke rumah. Ia menggambar dan terus menggambar,
menggambar pada ada. Orang-orang sekampung mulai terganggu dengan kehadirannya,
lantas menyuruhnya berhenti atau sekadar pergi. Namun ia tak acuh. Ia ditinju,
dipukul dengan pentung. Ia merintih, duduk, dan menggambar garuda pada pentung
itu. Ia disiram air panas, melolong panjang, namun masih sempat menoleh mungkin
masih bisa menggambar garuda pada genang-genang air. Ia telah mewabah. Ia
bencana. Ia virus, ya Virus Viktorius.
Hingga
pada paruh malam kedua, Viktor merangkak dalam remang, meraba dan mulai
menggambar garuda pada kaki sebuah ranjang. Ia tak peduli pada sepasang kekasih
yang lagi indehoy pada ranjang. Ia pincingkan mata, mengutuk
lampu tidur yang redup romantis.
“Apa-apaan
ini...?!” suara serak membentak. Lampu kamar menyala. Sang kekasih terlepas,
mencari selimut. Tiga pria berseragam loreng berdiri di pintu. Kekasih tegang.
“Apa yang
kau buat di kamar orang hah...?!?” Tanya si loreng yang berdiri paling depan.
“Ini
kamar saya....” Pria pada ranjang menyahut gentar. Si loreng menggeleng angkuh,
menunjuk pada kaki ranjang. Wanita pada ranjang histeris. Viktor terus
menggambar. Manfaatkan cahaya yang ada.
“Bawa
dia...!!” dua pria loreng lain menyeret Viktor pergi. Si loreng berdehem, memandang
penuh minat pada pasangan kekasih.
“Lanjutkan...!!”
Ia tersenyum kalem dengan makna yang sulit ditebak. Kamar gelap. Pintu
dibanting. Langkah-langkah menjauh. Melemah. Hilang.
Viktor
digiring ke sebuah ruangan asing. Ada lukisan garuda tergeletak di lantai.
Viktor tersenyum; itu ciptaannya. Si loreng bertanya-tanya tentang
identitas Viktor, tak ada jawab. Ia hanya diam, jauh, ia seolah tiada,
ketiadaan dalam ada. Si loreng gusar.
“Baiklah...,
apa yang saudara gambar?”
“Garuda...,”
datar. Si loreng tersenyum. Ia temukan pintu.
“Bagus,
jiwamu nasionalis, pasti ayahmu pejuang seperti kami. Tapi mengapa matanya
menatap ke kiri?” si loreng memungut dan memperhatikan lukisan Viktor.
“Tak ada
yang mewajibkan saya untuk menatap ke kanan...!!”
“Aku
bertanya tentang lukisanmu, bukan tentang engkau. Bodoh...!!” Si loreng
meludah.
“Aku
adalah garuda...!”
“...Garuda?
Gagak dekil begini kau sebut garuda? Huh...! Terserah..., Ngkula
adalah garuda atau garuda adalah Ngkula, aku tak berminat. Tapi pahami ini. Kau
masih terlalu muda untuk memahami negeri ini. Kau harus tahu, kiri adalah
jahat. Kiri adalah pemberontakan. Kiri itu kehancuran. Di negeri ini pernah
hidup manusia-manusia terkutuk beraliran kiri, mereka mau mengganti dasar
negara ini dengan paham mereka. Tapi mereka kalah, mereka gagal, hancur dan
hilang ditelan ibu pertiwi. Sedangkan kanan, kanan adalah kebangkitan,
kekudusan, ilahi, sakral, kebenaran, pencerahan, aufklärung. Akh....,
kau bodoh, kau pasti tak mengerti. Intinya begini, jangan pernah
mengganggu masyarakat dengan garuda-garudamu. Dan satu lagi, ubah arah mata
garuda pada lukisanmu itu!!! Mengerti....!?!”
“Aku tak
bisa...! Sudah sekian tahun aku menatap ke kanan, tak pernah ada perubahan. Aku
lelah menatap ke kanan, kebebasan beragama terbelenggu, pelecehan dan kekerasan
dianggap titah Allah. Ada ketidakadilan hukum, yang salah dibenarkan, yang
benar diabaikan; hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tak ada
persatuan, hanya keegoisan dan korupsi. Karna suara-suara tak terwakili, karna
yang kaya terus menjadi kaya sedangkan yang miskin harus terus berbagi meski
hanya untuk menghirup angin.... Apa salahnya kalau kita mengubah cara pandang,
mungkin di kiri ada kebijakan yang lebih baik dari pencerahan semu yang kau
agung-agungkan itu...!”
“...Bangsat!!
Beraninya kau mengkotbahiku. Siapa yang telah merasuki otak dekilmu dengan
kata-kata mewah ini hah...?? Siapa...? Pastor? Pendeta? Ustad? Biksu? Aktivis?
Siapa....?!?” si loreng mencakar kepala Viktor. Viktor tersenyum,
ubun-ubunnya tak rapuh lagi.
Hening.
Nafas si loreng memburu.
“Kuberi
waktu satu malam. Ubah lukisan ini...!”
***
Pagi
merekah, langkah-langkah mendekat, ubin berdesak-desak.
“Mengapa
lehernya patah...?” Si loreng meraba darah kering pada lukisan.
Seseorang
melangkah dari sudut ruangan.
“Aku
sudah mencoba memutar kepala ke kanan, tapi aku tak sanggup. Aku terus memaksa,
hingga leher ini patah.”
DORRR...!!!
Garuda
terjerembab. Timah menyibak bulu, menembus dada. Perisai pecah
berkeping-keping. Bertindih-tindih. Banteng dengan rantai karat pada lehernya
rakus mengunyah kemuning padi. Bintang redup di balik ranting-ranting egoisme
sang beringin, yang kemudian tumbang menimpa banteng. Banteng roboh, rantainya
putus.
“Bakar
gagak itu...!!!”
Komentar
Posting Komentar