2Kor 4:1-12
Saudara-saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus ...
Pada suatu siang yang terik, ketika
sang surya tegak di atas ubun-ubun, Saulus, dengan hati berkobar-kobar,
bergegas menuju Kota Damsyik, untuk memburu dan membantai para pengikut Jalan Tuhan.
Kuda tunggangannya dipacu cepat-cepat, pedang panjang tergantung di
pinggangnya, sedang para pengikutnya mengikuti dia, juga dengan misi yang sama:
memburu semua orang yang mengakui Yesus sebagai Tuhan.
Namun di gerbang Damsyik, sebelum masuk
kota, sebelum pedang terhunus, sebelum darah tertumpah, sebelum tulang-tulang
remuk dan patah, Tuhan datang menyongsong Saulus. Cahaya Tuhan memancar dari
langit mengitari tubuh Saulus, lebih terang dari matahari, lebih hangat dari
api, membakar tuntas hasrat menganiaya dalam diri Saulus.
Di gerbang Kota Damsyik, tubuh Saulus yang
sebelumnya perkasa, diempas Tuhan sampai ke debu. Di gerbang Kota Damsyik,
kepala berkalung sorban yang sebelumnya tegak mengusung hukum-hukum Taurat, diempas
Tuhan sampai ke debu. Di gerbang Kota Damsyik, hati yang sebelumnya keras bagai
batu, diempas Tuhan sampai ke debu.
Gerbang Kota Damsyik, menjelma menjadi
ujung jalan, tempat segala sikap dan komitmen masa lalu Saulus harus ditinggalkan.
Kasih Tuhan telah terlebih dahulu menyambut dan merangkulnya, dan Saulus
memulai sebuah misi baru, misi mewartakan kasih dan kebenaran Injil, bersama
Tuhan.
Gerbang Kota Damsyik bagaikan gerbang
api, tempat segala dosa dipulihkan, tempat segala salah disucikan, tempat jiwa
dan raga diubah menjadi baru. Saulus diubah menjadi Paulus, sang penganiaya diubah
menjadi kekasih Tuhan.
Saudara-saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus ...
Kesadaran akan besarnya kasih Allah, telah
sungguh-sungguh menginspirasi keseluruhan karya pewartaan Paulus. Paulus sadar,
bahwa hanya karna belaskasihan Allah-lah dirinya memperoleh karunia agung
mewartakan Injil Tuhan.
Oleh karena itu, seperti tertulis pada bagian
awal bacaan tadi, Paulus secara tegas menyatakan “hanya karena kemurahan
Allah-lah, kami menerima (tugas) pelayanan sebagai rasul”. Paulus, seperti kita
baca dalam surat-suratnya, berulang kali menegaskan bahwa panggilan hidupnya
untuk mewartakan Injil merupakan rahmat istimewa dari Tuhan.
(Dan) kita tahu saudara-saudara,
keyakinan Paulus akan besarnya rahmat Allah ini, telah memampukan Dia untuk
selalu mengandalkan Tuhan dan teguh bertahan ketika menghadapi aneka
penganiayaan, penghinaan, penolakan dan penderitaan. Ia senantiasa yakin, (bahwa)
semakin dirinya teraniaya, semakin besar pula campur tangan Tuhan; semakin
berat salib yang dipikulnya, semakin besar pula nikmat yang diberikan Tuhan
atas jiwa dan raganya.
Saudara-saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus ...
Sebelum kisah Paulus menginspirasi
kita, kisah yang sama juga telah terlebih dahulu menyapa saudara sulung kita
seserikat, St. Yosef Freinademetz. Perjalanan hidupnya sejak dilahirkan di
Oies, Tirol Selatan, hingga meninggal akibat penyakit typhus di Taikia,
Shantung Selatan, adalah sebuah narasi indah tentang panggilan Tuhan dan salib
derita yang mesti ditanggungnya sebagai seorang imam misionaris SVD.
Seperti Paulus, St. Yosef Freinademetz diubah
Tuhan dari seorang pribadi yang terlampau kaku dengan superioritas bangsa
Eropa, menjadi seseorang yang yakin bahwa kebenaran dan wahyu Tuhan juga
diturunkan atas bangsa-bangsa di Asia. St. Yosef dianugerahi rahmat kesadaran bahwa
pengalaman akan Tuhan bukan saja diterima orang-orang berkulit putih di Eropa,
tetapi juga oleh sesama saudara yang sangat dicintainya, nun jauh di tanah China.
Seperti Paulus, rasa syukur atas rahmat
Allah ini ditunjukkan St. Yosef lewat kesediaannya untuk menanggung
penderitaan, memikul salib sejak turun perahu dan menapakkan kaki untuk pertama
kalinya di daratan China, sampai akhir karya misinya di sana.
Bagi St. Yosef Freinademetz, unsur
penting dari iman semua orang yang menyatakan diri sebagai pengikut Yesus
adalah kesediaan untuk memikul salib, menanggung penderitaan. Sebab hanya
melalui salib itulah, kuasa Tuhan benar-benar dialirkan ke atas mereka yang
mengimani-Nya.
Saudara-saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus ...
Seperti St. Paulus dan St. Yosef
Freinademetz, kita, yang pada malam ini hadir di sini, juga punya kisah
masing-masing tentang panggilan hidup kita. Kita semua, tentu punya kenangan akan
hari di mana Tuhan mempertemukan kita dengan Diri-Nya.
Baiklah kita kenangkan lagi kisah
panggilan itu, agar kita tidak telanjur lupa pada rasa bahagia yang pernah kita
alami saat pertama kali menapaki jalan panggilan ini. Kita kenangkan lagi
motivasi awal kita, tentang rasa rindu kita untuk menjadi calon imam Tuhan.
Dengan menghidupkan kembali
kenangan-kenangan itu, hemat saya, kita akan dibantu untuk menyalakan kembali
gairah cinta kita terhadap panggilan hidup. Kita akan dibantu untuk membenahi
diri, menjalankan aturan-aturan bersama di biara ini secara lebih
bersungguh-sungguh lagi.
Malam ini, kita juga diingatkan untuk
lebih setia memikul salib-salib kecil kita, sambil terus mengantisipasi dilimpahkannya
salib lain yang jauh lebih besar dan berat.
Salib-salib kecil yang mesti kita pikul
itu mulai dari hal-hal sederhana antara lain komitmen untuk bangun pagi tepat
waktu, kesadaran untuk mencuci alat-alat makan, menampi beras dan mengambil
air. Kita juga perlu bertanggung jawab untuk memimpin ibadat pagi, bersedia
mengikuti latihan nyanyi meskipun kita tidak suka nyanyi, bertanggung jawab
mengganti barang-barang milik bersama yang sudah kita rusakkan, dan lain-lain.
Hal-hal sederhana ini menjadi semodel
latihan bagi kita untuk menghadapi salib yang lebih besar, yang kelak akan
diberikan kepada kita.
Ada begitu banyak model salib yang
lebih besar itu, saya menyebut dua di antaranya. Pertama, tantangan kemajuan zaman, yang mana masyarakat dunia saat
ini semakin sekular, masyarakat yang tidak memiliki cukup alasan untuk
mengimani Allah. Kehadiran kita di tengah konteks masyarakat seperti ini
mungkin tidak diterima, apalagi dirindukan.
Kedua,
semakin ruwetnya persoalan masyarakat
yaitu tumbuh kembangnya semangat individualisme (setiap orang hanya hidup untuk
dirinya sendiri), radikalisme agama (menganggap ajaran agamanya yang paling
benar dan mulai membantai penganut agama lain), narkoba (yang semakin
merajalela), HIV dan AIDS (baik penyebarannya yang semakin meluas maupun
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para penyintasnya), perdagangan
manusia, ketidakadilan hukum dan lain-lain.
Dengan menyatakan kesediaan dan
komitmen menjadi pengikut Yesus, serentak berarti, kita menyerahkan pundak kita
untuk memikul salib menghadapi persoalan-persoalan ini.
Saudara-saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus ...
Pada bagian akhir renungan ini, saya
mengajak saudara-saudara dan diri saya sendiri, untuk menaikkan ucap syukur
kepada Tuhan, atas rahmat panggilan yang sudah kita terima. Rasa syukur ini
akan membantu kita untuk menyadari betapa luhurnya panggilan hidup kita,
meneguhkan komitmen panggilan kita, entah apapun halangannya.
Saya juga mengajak saudara-saudara
sekalian untuk tetap setia memikul salib hidup kita masing-masing, tak peduli
apapun godaan dan rintangannya, meski seisi dunia menganiaya dan menertawakan
kita.
Kenangkanlah bahwa jauh sebelum kita,
Tuhan Yesus, St. Paulus dan St. Yosef Freinademetz sudah terlebih dahulu
memikul salib, persis pada jalan yang sedang kita tapaki kini.
Amin. (Pernah dibawakan di Kapel Unit St. Agustinus, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero)
Komentar
Posting Komentar