Buku terbaik
untuk kumpulan puisimu semestinya adalah tindakan. Kertas akan
usang, huruf-huruf bakal berceceran, tanda baca takkan abadi mengapiti kata. Sedang
tindakan, tiada seorang pun sanggup mencoretnya dari kenangan.
Kau berpuisi
tentang Tuhan, tapi ibadah dan amal baktimu sama bobroknya. Ketika ditanya
mengapa tak berdoa, kau bilang dirimu mengutamakan aksi. Namun, saat
orang lain beraksi kau tak terlihat ada di sana, lantas kau berkilah:
aksi tak mesti sama-sama, bisa seorang diri saja.
Kau puisikan
pula cinta bunda dan ayahmu, tentang masa bocahmu yang indah-indah. Kala engkau menetek
di kembar payudara ibumu hingga kendur bentuknya, meninju-ninju rahang ayahmu
sampai roboh giginya. Namun, tak
sekalipun kau kunjungi mereka pada usia senjanya. Sesekali
memang kau rindu pulang, tapi itu pun ketika kau ditimpa prahara.
Kau berpuisi
tentang guru-gurumu, pahlawan turun-temurun yang tak pernah dihargai
jasa-jasanya. Namun kau
memandang hina para honorer yang meratap di panas jalanan, ketika menuntut
keadilan upah. Kau terus berdiam
diri saja, melipat tangan, lalu mulai menulis puisimu.
Kau puisikan
pula kondisi negerimu yang tiada tanda maju-maju ini. Tentang warganya
yang lebih suka galau, sindir-menyindir, sikut-menyikut, tinju-meninju, tembak-menembak. Namun kau
membuang-buang waktu belajarmu, hingga kuliahmu tak kelar-kelar. Biasalah,
seniman itu anti keteraturan, kau beralasan.
Kau kotbahkan indahnya
kerukunan, tapi kau lebih memilih berdiam dalam kekakuan. Kau curiga
terhadap perbedaan, dan menganggap kelompokmu yang paling benar.
Sudah berapa bukukah puisimu?
tunjukkan
indahnya padaku lewat tindakan.
Komentar
Posting Komentar