Ilustrasi penyandang disabilitas yang kurang mendapat fasilitas dalam kehidupan publik. Meski demikian, semangat hidup mereka senantiasa tak pernah pudar. (Foto: Google) |
Lantunan “Mars Difabel
Karitas Ende” gubahan Hendrikus Wela Jala, penyandang disabilitas dan sekaligus
relawan Karitas Keuskupan Agung Ende/Karitas Ende, membahana memenuhi ruangan
Aula Bina Olangari, Jalan Melati Kota Ende, Kamis (3/12/2015) pagi.
Sejak sehari sebelumnya,
40-an anggota Tim Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM/Community Based
Rehabilitation) dari 25 paroki se-Kevikepan Ende, gabungan pendamping dan
penyandang disabilitas (difabel), berada di tempat tersebut guna mengikuti
aneka kegiatan memperingati Hari Difabel Sedunia, yang dirayakan tiap tanggal 3
Desember.
Wajah Hendrikus Wela Jala
terlihat berseri-seri, apalagi ketika Pater Steph Tupeng Witin SVD, Pemimpin
Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos, yang pada kesempatan
tersebut didaulat menjadi pemandu syering, mengapresiasi karyanya. “Saya
menyelesaikannya dalam waktu satu malam. Awalnya kurang percaya diri, apa bisa?
Selanjutnya saya dengung-dengung, coret-coret, akhirnya jadi juga. Sekarang
saya bahagia, bukan karna karya saya diapresiasi, tetapi karna saudara-saudara
saya - sesama difabel - menyanyikannya dengan semangat,” kata Hendrikus,
tunanetra yang telah menjadi relawan sejak lahirnya Karitas Ende pada 2013 lalu.
Syair penyemangat dalam mars
ciptaan Hendrikus ini selanjutnya menjadi pintu masuk bagi Pater Steph untuk
membuka dialog dari hati ke hati pada komunitas pendamping dan penyandang
disabilitas tersebut. “Difabel adalah manusia beriman, hidup berlandaskan cinta
kasih. Difabel adalah manusia Pancasila, penuh kekuatan dan sanggup
memberdayakan diri sendiri serta sesama. Pada Hari Difabel Sedunia ini, doa dan
perhatian segenap komunitas masyarakat di dunia terarah kepada kaum difabel,
maka sekarang, berbicaralah,” ajak Pater Steph sambil menggunakan kata-kata
kunci pada syair Mars Difabel.
Kristina Pero, difabel dan
relawan asal Paroki St. Yosef Onekore mengawali syering dengan mengisahkan
riwayat dirinya sebagai seorang ibu yang sebenarnya terlahir normal.
Malang mengadang, ketika memasuki usia 9 bulan, Tin - demikian ia disapa -
terserang polio, yang mengakibatkan salah satu kakinya mengecil dan jalannya
pun menjadi pincang.
Saat mengawali masa sekolah,
kedua orangtuanya mulai cemas dengan kondisi kesehatan dan - terutama -
perkembangan mental Tin. “Orangtua saya takut jangan sampai ada teman-teman
saya yang bertindak usil, mengejek atau menertawakan kekurangan yang ada pada
diri saya. Orangtua saya percaya, ejekan - bahasa generasi muda sekarang bullying – berdampak
buruk terhadap perkembangan mental saya,” kisah Tin dengan mata berkaca-kaca.
Namun seperti kata orang
bijak, sahabat terbaik teruji ketika ia bisa mencintai dan menghargai
kekurangan diri kita, Tin juga menemukan sahabat terbaik sejak ia memasuki masa
sekolah. Sahabat terbaik itu adalah guru dan teman-temannya yang senantiasa
menghargai, mendukung dan mencintainya. Dukungan tersebut ternyata berdampak
positif bagi peningkatan prestasi dirinya, sejak ia masih TK sampai dengan saat
ini.
“Sebagai difabel, kita tidak
perlu malu dengan keunikan yang ada pada diri kita. Yakinkan diri bahwa kita
adalah ciptaan terindah Tuhan, paling istimewa, dan punya kekuatan yang mampu
membelalakan mata komunitas masyarakat dunia. Percaya diri dan berprestasilah,”
ajaknya sambil mengepalkan tangan; tepukan tangan yang cukup lama
dipersembahkan peserta syering untuk semangat dan kisah hidup Tin.
Karitas Ende, meskipun
bernaung di bawah Keuskupan Agung Ende, bukanlah lembaga ekslusif yang hanya
menerima umat Katolik sebagai anggotanya. Direktur Karitas Ende Romo Sipri
Sadipun Pr menegaskan, Karitas Ende terbuka terhadap semua difabel tanpa
memandang suku, agama, ras dan golongan.
“Misi yang kami wartakan
adalah caritas, cinta kasih, dan semua manusia berhak
mendapatkan cinta kasih, tanpa terpenjara suku, agama, ras dan golongan.
Meskipun mengusung nilai-nilai Katolik, Karitas Ende sangat terbuka terhadap
difabel dari komunitas agama lain,” demikian dijelaskan Romo Sipri beberapa
waktu sebelumnya.
Ahmad Yani, lebih suka
dipanggil Yani Ahmad, “supaya beda dengan nama Pahlawan Nasional Indonesia
Ahmad Yani”, kata sang pemilik nama, seakan hadir sebagai pemberi warna lain
yang memperkaya keakraban dalam syering hari itu. Ahmad Yani adalah seorang
Muslim yang taat, tetapi tanpa sungkan bergabung dengan difabel lain yang
mayoritas Katolik.
Pribadinya luar biasa
hangat, semua orang yang dijumpai selalu diakrabinya, seolah-olah bertemu
sahabat lama. Gangguan bawaan pada sepasang kakinya mengantar dia untuk
bergabung bersama Karitas Ende.
“Sekalipun pincang, saya
sanggup hidup mandiri dan meraih sukses melalui usaha perbengkelan yang saya
kembangkan. Kedua orangtua saya miskin, dengan penuh sesal mereka menyatakan
bahwa mereka tidak sanggup berbuat apa-apa dengan saya. Dinas Sosial Kabupaten
Ende pun demikian, mereka tidak melakukan apa-apa untuk saya dan sekian banyak
saudara saya sesama difabel. Kita punya kekuatan, kita harus memperjuangkan
kehidupan yang layak dengan memanfaatkan kekuatan kita sendiri,” kata pria
paruh baya asal Arubara ini.
Kepada sesama difabel, Ahmad
Yani menitipkan dua pesan yakni bijak memanfaatkan kesempatan dan selalu
bersikap jujur. “Jujur, jujur, dan jujur; hanya kejujuranlah yang akan
mengantar kita kepada kesuksesan,” tuturnya.
Tim RBM yang dibentuk
Karitas Ende merupakan perpaduan antara difabel dengan pendamping yang bukan
difabel. Konsep gabungan seperti ini sengaja dibuat Karitas Ende dengan dua
sasaran yakni agar difabel tidak berjuang sendiri dan agar kaum difabel tidak
diabaikan - dijadikan objek - dalam perjuangan membela hak/kepentingan kaum
difabel itu sendiri.
Valentinus Ferdi adalah
salah satu dari sekian banyak pendamping difabel yang tergabung dalam Tim RBM
Karitas Ende, utusan Paroki St Maria Immaculata Jopu. Valentinus menjadi
pendamping dan relawan Karitas Ende sejak tahun 2013 lalu.
“Seperti pada kebanyakan
lembaga Gereja pada umumnya, bekerja di Karitas Ende tidak mendatangkan
keuntungan ekonomi apa-apa. Namun, yang saya cari bukanlah keuntungan ekonomi,
melainkan keuntungan rohani. Di sini saya menyumbangkan sedikit cinta kasih,
dan Karitas Ende melipatgandakannya menjadi berlimpah-ruah cinta kasih. Saya
menemukan kedamaian di Karitas Ende, dan saya pikir itu cukup buat hidup saya,”
ungkap pria kelahiran Reka, Wolotolo ini.
Sebagai pendamping yang
saban hari bergelut dengan kehidupan difabel, Valentinus Ferdi mengajak sesama
anggota Tim RBM untuk berjuang dari bawah, dari hal-hal sederhana. Perjuangan
dari bawah itu, rinci Valentinus, bisa berupa keikutsertaan Tim RBM dalam
Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) demi menyuarakan
kepentingan kaum difabel, membuat sosialisasi sederhana kepada masyarakat
tentang kesadaran untuk memperhatikan hak dan kepentingan difabel, dan
mendampingi keluarga-keluarga yang kesulitan menerima adanya difabel dalam
keluarga mereka.
Pada kesempatan yang sama,
Valentinus juga memohon perhatian dan kebijakan tertentu dari Pemerintah Kabupaten
Ende, khususnya dari beberapa dinas yang berkaitan langsung dengan kehidupan
kaum difabel. “Meskipun sudah lelah meminta, tetapi atas nama persaudaraan
bersama kaum difabel, kami sekali lagi memohon pemerintah untuk memperhatikan
nasib kaum difabel di Kabupaten Ende,” katanya.
Setelah Valentinus
mengutarakan keluh dan kesahnya terkait minimya perhatian pemerintah terhadap
kepentingan difabel, semangat peserta syering seolah memudar. Semua peserta
larut dalam permenungan masing-masing, seakan kehilangan asa dan topangan untuk
bertahan hidup.
Sang moderator, Pater Steph
Tupeng Witin SVD tidak kehilangan akal. Imam yang getol memperjuangkan keadilan
bagi kaum tertindas melalui tulisan-tulisannya di pelbagai media baik lokal
maupun nasional ini mengundang Delfina Lorensia Kapal, pendamping difabel dari
Paroki St Yosef Freinademetz Mautapaga, untuk membacakan puisi
pemantik semangat peserta syering.
Delfina pun maju dan dengan
penuh penghayatan membacakan puisinya yang berjudul Kami Adalah
Kekuatan. Semua peserta terpekur merenungkan kata demi kata dalam
puisi yang dibacakan Delfina; mata mereka berbinar, semangat mereka mekar
kembali.
Kami Adalah Kekuatan
ketika hari dikabuti awan
ketika hidup dicerca
persoalan
ketika orang memandang
sebelah mata
secercah sinar terbit
membawa harapan
kami adalah kekuatan
pada kami ada daya
dalam dada ada semangat
dalam jiwa menggumpal asa
kami sama dengan saudara
kami mampu berbuat baik
asalkan kami diberi daya
agar kami hidup layak.
“Yah, kami, kita, kaum
difabel adalah kekuatan. Dalam diri difabel bergelora harapan dan kekuatan yang
boleh jadi belum tersalurkan. Sekalipun banyak orang bukan difabel meragukan
kekuatan dan potensi diri kita, api semangat itu tidak boleh pudar. Mari kita
tunjukkan kepada komunitas masyarakat dunia, bahwa kita bisa mandiri, jujur,
saling mencintai, dan sanggup menyumbangkan banyak hal bagi perubahan dunia,”
ajak Pater Steph sekaligus mengakhiri kegiatan syering difabel hari itu. ( Terbit
edisi cetak di HU Flores Pos edisi Jumat (18/12/2015) dan Sabtu
(19/12/2015)
Komentar
Posting Komentar