Hari
masih sangat pagi pada Rabu, 7 Desember 2016. Jarum jam baru menunjukkan pukul
05.03 WIB, sebelas menit jelang salat subuh. Alam masih remang, embun pun turun
dengan derasnya. Sebagian besar penduduk Serambi Mekkah, Provinsi Nanggro Aceh
Darussalam, sedang terlelap dalam tidur.
Pada pagi
teramat hening itu, tiba-tiba bumi berguncang, tanah dan bebatuan berayun,
bunyi getaran seperti angin kencang melintas. Semesta yang tadinya senyap
beralih riuh: gempa, gempa, gempa, warga berteriak histeris. Antara sadar atau
tidak, mereka berhamburan keluar rumah tanpa miliki kesempatan untuk
menyelamatkan barang-barang kepunyaaan mereka.
“Gempa
terasa kuat sekali, bumi seakan diayun dan diempas. Begitu terjaga sedikit
panik, rangkul anak langsung buka pintu ke luar. Sesaat kemudian, mayat-mayat
bergelimpangan, ratap dan tangis pilu terdengar hampir di setiap rumah. Subuh
itu menjadi subuh terberat bagi kami,” kata Yusna, warga Meulaboh, kepada Suriyanto,
reporter CNN Indonesia.
Pada pagi
yang mencekam itu, pekikan Allahu Akbar, Allah Mahabesar, menyentuh sisi
paling emosional dari iman warga Aceh. Bahwa sesungguhnya manusia hanyalah
ciptaan yang terbentuk dari debu tanah (Qs. 3:59, 30:20, 35:11), tak ada
apa-apanya di hadapan keagungan Allah SWT. Bagaikan sajadah, manusia mesti
rebah di tanah sambil terus memasrahkan diri pada kehendak dan rencana-Nya,
memohon pertolongan pada kemurahan hati-Nya.
Beberapa
saat kemudian, Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merilis data
bahwa gempa di daerah berpenduduk mayoritas Muslim tersebut berkekuatan 6,4
Skala Richter. Posisi gempa terletak pada 5,19º Lintang Utara dan 96,36º Bujur
Timur. Pusat gempa berada di 18 Km timur laut Kabupaten Pidie Jaya, 34 Km barat
laut Kabupaten Bireun, 48 Km timur laut Kabupaten Pidie, 121 Km tenggara Banda
Aceh atau 1.716 Km barat laut DKI Jakarta.
Tidak ada
potensi tsunami pada gempa yang menurut Wijo Kongko, Perekayasa Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), setara dengan lima kali kekuatan bom
Hirosima itu. Sebab gempa berasal dari aktivitas sesar mendatar dalam
laut, bukan sesar subduksi (gerak naik turun).
Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 10 Desember 2016 melaporkan gempa
tersebut mengakibatkan 101 jiwa tewas, 857 jiwa luka-luka (139 luka berat, 718
luka ringan) dan 45.329 jiwa mengungsi. Sebagian korban luka-luka dirujuk ke
RSUD Chik Ditiro Sigli.
Sementara
itu, kerugian materiil yang ditimbulkan adalah 11.668 rumah (2.992 rusak berat,
94 rusak sedang, 8.582 rusak ringan), 157 ruko (108 roboh, 31 rusak berat, 3
rusak sedang, 15 rusak ringan), 152 masjid dan mushola (59 rusak berat, 2 rusak
sedang dan 91 rusak ringan), 25 sekolah (5 rusak berat, 9 rusak sedang, 11
rusak ringan) dan 1 Rumah Sakit roboh (RS Pidie).
Rancang
Solidaritas Kemanusiaan
Duka
teramat mendalam atas bencana gempa ini sesungguhnya tidak hanya dirasakan
warga Aceh. Beribu-ribu kilometer jaraknya dari Aceh, nun jauh di Maumere
- Flores, sembilu duka atas tragedi yang sama juga menyayat hati warga di
wilayah dengan mayoritas Katolik itu.
Penderitaan
yang dirasakan warga Aceh menyeberang begitu jauh, membobol batas suku, agama,
ras dan golongan, menggedor pintu hati masyarakat Flores. Semangat kebhinekaan
dan keindonesiaan yang pada masa-masa terakhir ini kendur diterpa isu SARA mulai
digalang kembali. Duka Sabang adalah duka Merauke, air mata Aceh adalah air
mata Flores, itulah Indonesia.
Sabtu
petang, 10 Desember 2016, beberapa imam dan frater SVD dari Komunitas Seminari
Tinggi Ledalero berkumpul di salah satu ruang pertemuan Puslit Candraditya
Maumere. Koordinator JPIC Provinsi SVD Ende Pater Eman Embu, SVD menempati
posisi di ujung meja untuk memimpin pertemuan.
Terlihat
hadir dalam pertemuan dengan tema umum “Menggalang Solidaritas Kemanusiaan
untuk Aceh” itu beberapa imam dan dosen STFK Ledalero yakni Pater Otto Gusti
Madung SVD, Pater Juan Orong SVD, Pater Ignas Ledot SVD, dan Pater Remi Ceme
SVD. Hadir pula Pastor Kapelan Paroki Kewapante Pater Sergi Ratu SVD, aktivis
kemanusiaan Maumere Bpk. John Bala dan staf pengurus fratres Ledalero yaitu
Frater Arvin Ea SVD, Frater Clemens Manek SVD, Frater Vilan Nasrudin SVD dan
Frater Budiarty Syukur SVD.
Pertemuan
tersebut dibuka dengan doa memohon istirahat abadi bagi para penyintas yang
telah meninggal dunia dan meminta rahmat peneguhan hati bagi penyintas yang
selamat. Kemudian Pater Eman menyampaikan laporan situasi di Aceh yang dihimpun
Humanitarian Forum Indonesia – sebuah lembaga forum yang beranggotakan 15
lembaga kemanusiaan nasional berbasis agama – dimana Caritas Indonesia menjadi
salah satu anggotanya.
“Saudara-saudara,
bencana dan penderitaan tidak pernah memandang latar belakang suku, agama, ras
dan golongan. Ia datang secara tiba-tiba dan menimpa siapa saja di bumi yang
kita diami ini, tak peduli sesaleh atau sejahat apa pun pola hidup mereka yang
kelak mengalaminya. Karena pada dasarnya bencana dan penderitaan tidak
berhubungan langsung dengan dosa manusia,” kata Pater Eman.
Pernyataan
Pater Eman sebetulnya lahir dari keprihatinan dia akan banyaknya pandangan
negatif masyarakat Indonesia yang cenderung menghubungkan bencana dengan
hukuman Tuhan atas dosa manusia. Lebih parah lagi ketika bencana dihubungkan
dengan karut-marut situasi sosial politik bangsa Indonesia saat ini: kasus
Ahok, ancaman terorisme, intoleransi dan radikalisme agama, serta
masalah-masalah lainnya.
Akibat
lebih lanjutnya adalah solidaritas seseorang terperangkap dalam kotak sempit
nan pengap bernama SARA, dengan penekanan pada agama. Seseorang hanya prihatin
dan membantu sesamanya yang se-suku, se-agama, se-ras dan se-golongan. Di luar
itu dia akan berpangku tangan, mengunci hati dan berujar: rasakanlah hukuman
Tuhan(-ku) atasmu.
“Kita
hidup di sebuah negara yang punya cita-cita luhur menjunjung tinggi
kebhinekaan, bersatu dalam keanekaan. Oleh karena itu solidaritas kita juga
harus melampaui sekat SARA, sekat yang sebetulnya hanyalah ciptaan kita
sendiri. Solidaritas kita mesti berwajah kemanusiaan, sebuah fakta paling
mendasar yang dianugerahkan Tuhan kepada kita,” tegas Pater Eman.
Atas
dasar itu, Pater Eman dan peserta pertemuan sepakat mengajak seluruh masyarakat
Flores untuk melakukan aksi nyata sebagai tanda solidaritas kepada penyintas
bencana gempa Aceh. Aksi nyata tersebut bisa berupa sumbangan uang, bisa juga
berupa barang.
“Namun
penekanan bukan pada uang, melainkan pada solidaritas kemanusiaaan seluruh
warga Flores. BNPB dan lembaga-lembaga nasional lainnya sudah memberikan
bantuan yang bisa memenuhi kebutuhan para penyintas bencana. Aksi yang kita
lakukan lebih pada upaya membangkitkan kepekaan kita akan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, memandang warga Aceh sebagai saudara dan menolong mereka atas
semangat kemanusiaan,” katanya.
Aksi Nyata dan
Ajakan untuk Terlibat
Sebagai
aksi nyata upaya menggalang solidaritas kemanusiaan untuk Aceh, Pater Eman
menginformasikan bahwa Provinsi SVD Ende sudah mengirim uang sebesar
Rp10.000.000,00 ke Aceh. Aksi ini diharapkan menjadi awal bagi lahirnya
aksi-aksi berlandaskan solidaritas kemanusiaan lainnya di Flores.
Pater
Remi Ceme SVD, Dosen Teologi Dogmatik STFK Ledalero dan sekaligus Ketua
Matridis Maumere menyatakan kesediaannya untuk menyampaikan ajakan penggalangan
dana ini kepada anggota Matridis Maumere. Menurut Pater Remi, biarawan dan
biarawati yang tergabung dalam Matridis Maumere akan sangat antusias melibatkan
diri pada gerakan kemanusiaan ini.
Ajakan
untuk terlibat juga dialamatkan kepada pimpinan komunitas Muslim di Kewapante
dan Kota Maumere. Dosen muda matakuliah Filsafat Islam STFK Ledalero Pater
Hendrik Maku, SVD diberi kepercayaan untuk mendiskusikan respons bencana tersebut bersama para tokoh
umat Muslim ini.
Kelompok
lain yang juga dimintai keterlibatannya dalam gerakan ini adalah segenap umat
Katolik di Flores. Ajakan keterlibatan ini, menurut Dosen Liturgi STFK Ledalero
Pater Ignas Ledot SVD, menjadi bentuk pemaknaan yang lebih mendalam terhadap
Masa Adventus yang saat ini sedang dijalani umat Katolik.
“Memberikan
bantuan kepada sesama yang menderita merupakan tanda kedewasaan iman seorang
Katolik. Sebab pada dasarnya, iman tidak sebatas ritual kultis di
gereja-gereja, melainkan harus menyata di tengah realitas penderitaan alam dan
sesama manusia,” kata Pater Ignas.
Pertemuan
itu juga merekomendasikan ajakan untuk terlibat kepada kelompok orang muda,
mahasiswa dan pelajar, kongregasi religius, komunitas lintas agama, para pelaku
usaha, pemerhati masalah sosial, dan lain-lain.
Akhirnya,
ajakan menggalang solidaritas kemanusiaan untuk Aceh dari ruang pertemuan
Puslit Candraditya Maumere menjadi ajakan bagi seluruh masyarakat Flores.
Solidaritas itu akan menjadi tolok ukur sejauh mana kita memahami kebhinekaan
Indonesia, sedalam apa kita memaknai martabat kemanusiaan kita. (Terbit Flores Pos, 16-17 Desember 2016)
Komentar
Posting Komentar